Belajar dari Mantan Ekstremis
Aksi terorisme berulangkali terjadi di Indonesia. Sebagian menelan banyak korban tidak bersalah . Oleh karenanya, penting bagi masyarakat untuk mengenal dan mengantisipasi sejak dini pemahaman yang mengarah kepada kekerasan atau terorisme, terutama yang berbasis agama. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah belajar dari kisah hidup mantan pelaku ekstremisme yang telah bertobat. Ali Fauzi Manzi di antaranya.
Dalam pelbagai forum, Ali menjelaskan, banyak faktor yang menyebabkan dirinya bergabung dalam kelompok ekstremisme kekerasan. Pada dasawarsa 80-90-an, terjadi sejumlah peristiwa kekerasan yang menimpa umat muslim di belahan negeri lain, seperti Bosnia, Irak, dan Afghanistan. Hal itu menjadi salah satu trigger keterlibatan dirinya dalam jaringan ekstrimisme. Muncul dorongan untuk membela umat muslim yang mengalami ketidakadilan.
Baca juga Konsep Pertobatan Mantan Ekstremis
Faktor lain adalah pemahaman/ideologi yang menyatakan bahwa sistem hukum dan politik yang dianut oleh Indonesia melanggar aturan Islam. Dampak bahaya pemahaman ini adalah mengkafirkan sistem maupun aparat negara Indonesia.
Selain dua faktor tersebut, hal lain yang membuat Ali Fauzi terlibat dalam jaringan ekstremisme adalah kekerabatan. Sejumlah saudaranya terlebih dulu bergabung dengan kelompok Negara Islam Indonesia dan kemudian Jamaah Islamiyah. Bahkan ketiga kakaknya menjadi pelaku utama aksi Bom Bali 2002. Namun demikian, perubahan dalam diri Ali Fauzi juga didorong oleh saran dan masukan kakaknya yang lebih dulu bertobat, Ali Imron.
Baca juga Seni Mengelola Dendam
Menurut Ali Fauzi, salah satu cara menangkal perkembangbiakan ekstremisme kekerasan adalah menghindari konflik horizontal, yaitu perang sesama anak bangsa. Hal itu sebagaimana terjadi pada kelompok Islamic State of Iraq and Syam yang tumbuh akibat konflik bersaudara di Suriah dan Irak. Konflik di Timur Tengah harus menjadi pembelajaran bagi masyarakat dan pemerintah Indonesia agar memiliki imunitas yang kuat dari potensi konflik.
Hal lain yang tak kalah penting adalah meluruskan ideologi atau paham keagamaan tertentu. Dalil-dalil tertentu dalam agama terbukti dijadikan legitimasi kekerasan. Ada kebencian kepada para aparat negara yang dipicu oleh paham takfiri (mengkafirkan aparat negara). Sejak 2010-2022, puluhan polisi menjadi target serangan. Aksi itu dianggap berpahala besar karena menghancurkan penghalang visi dan misi mereka dalam menegakkan daulah Islamiyah. Karenanya menjadi tugas alim ulama untuk meng-counter pemahaman kelompok ekstrimis yang sering menyebut pemerintah dengan thoghut.
Baca juga Kesabaran dan Pemaafan
Pemahaman lain yang harus ditetap dijaga sakralitasnya adalah jihad. Kelompok ekstremis mengimplementasikan jihad dengan cara melakukan penyerangan atau merakit bom dan meledakkan diri. Aksi tersebut tentu saja dipicu oleh rasa kebencian yang mengeras sehingga muncul tafsir jihad seperti itu. Padahal itu hanya versi mereka, bukan menurut ulama yang mu’tabar.
Salah satu cara melawan narasi ekstremisme adalah kisah korban terorisme. Ada di antara mereka yang mengalami dampak secara nyata yaitu kehilangan keluarga dan orang-orang yang dicintai. Kisah korban adalah dampak nyata bahaya ekstremisme. Dari pengalaman hidup yang dialami oleh korban, semestinya siapa pun akan berpikir ulang untuk terlibat dalam jaringan ekstremisme kekerasan.
Baca juga Menjaga Akhlak di Medsos