Berdakwah di Era Digital
Aliansi Indonesia Damai – Banyak kita temui nasehat, “Janganlah belajar agama dari internet.” Petuah itu berangkat dari keprihatinan atas maraknya ceramah-ceramah provokatif, bahkan mengarah pada hasutan dan kebencian yang beredar di jagat maya. Terlebih banyak pula pendakwah agama yang otoritas dan kapasitas keilmuannya layak dipertanyakan, namun ceramah-ceramahnya masif beredar di sejumlah platform media sosial.
Pada sisi lain, muncul pula temuan yang disampaikan oleh Solahuddin, pakar jaringan terorisme, bahwa dalam beberapa tahun banyak kelompok ekstrem yang melakukan perekrutan melalui media sosial. Menurut dia, ada tiga platform yang sering digunakan kelompok ekstrem, yaitu WhatsApp, Telegram, dan Facebook. Ketiganya berperan efektif dalam menyebarkan paham ekstremisme di kalangan anak muda. Bahkan sekira 75% pelaku tindak pidana terorisme sejak tahun 2018 sampai sekarang mengalami ekstremisasi melalui platform daring.
Baca juga Membalas Ketidakadilan dengan Kekeliruan
Ada beberapa alasan kenapa media sosial (medsos) cenderung dipilih oleh kelompok ekstrem, terutama setelah lahirnya UU No. 5/2018, di mana orang yang melakukan kajian terbuka tentang ajaran terorisme dapat dijerat pidana. Selain itu medsos memberikan kesempatan kepada setiap individu untuk tampil anonim atau memiliki multi-identitas. Beberapa jenis medsos bahkan telah dilengkapi dengan enkripsi yang menjamin keamanan isi percakapan. Ada pula fitur untuk secara otomatis menghapus pesan yang telah dibaca.
Dari hasil risetnya, Solahudin menyatakan, medsos membuat rentang waktu individu dari awal terpapar hingga berani melakukan aksi menjadi semakin pendek. “Saya mencoba riset terhadap pelaku tindak pidana terorisme pada 2018. Kapan terpapar dan kapan melakukan aksi teror. 80% mengatakan bahwa dari pertama terpapar sampai melakukan aksi teror adalah 0-1 tahun, banyak yang belum sampai 1 tahun. Saya pernah ajukan juga periode 2002-2010. Rata-rata jawabannya 5-10 tahun,” ujarnya dalam salah satu kegiatan AIDA.
Baca juga Dialog Tokoh Agama Wajo dengan Mantan Napiter
Era digital memang memberikan tantangan sekaligus peluang baru dalam aktivitas dakwah. Kita tak mungkin lagi mencegah orang belajar agama dari internet. Maka yang seharusnya kita lakukan adalah menguatkan literasi digital dan membanjiri jagat maya dengan narasi-narasi keagamaan positif yang membangun perdamaian. Saat ini narasi perdamaian masih belum dominan di medsos dan cenderung kalah oleh narasi politik yang seringkali membuat situasi semakin rumit.
Riri Khariroh, Direktur Eksekutif AIDA, dalam salah satu kegiatan bersama dengan para tokoh agama menyatakan, saat ini banyak orang yang menggunakan medsos sebagai sumber dalam mencari pengetahuan agama. Sulit bagi mereka yang memiliki literasi digital rendah untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah, kurang cermat membedakan hoax, dan sering terjebak dalam narasi yang menimbulkan kericuhan.
Baca juga Mendorong Narasi Keagamaan yang Damai
Situasi tersebut menuntut tanggung jawab baru bagi tokoh agama untuk terus membimbing masyarakat agar lebih bijak dalam menanggapi setiap narasi yang berkembang di jagat maya. Minimnya tokoh agama yang terjun berdakwah di jagat maya jelas memberikan celah kepada kelompok tertentu untuk membanjiri media sosial dengan konten-konten yang mudah memantik perselisihan.
Era digital memang telah mengubah pola komunikasi di masyarakat. Maka strategi dakwah juga harus dikembangkan dengan menyesuaikan kondisi yang ada. [WTR]
Baca juga Ketua Baznas Wajo: Kisah Penyintas Menggugah Kemanusiaan