Menghentikan Dendam Buah Hati

Aliansi Indonesia Damai- Peristiwa kekerasan nyaris selalu menyisakan dendam dan amarah. Demikian pun serangan Teror Bom Kuningan 2004. Febri Renaldi yang kala itu masih berusia 5 tahun, sempat sangat lama memendam amarah terhadap para pelaku. Ayahnya, Suryadi, harus meregang nyawa kala bekerja sebagai tukang kebun di kantor Kedubes Australia Jakarta.

Istri Suryadi, Yuni Arsih, tak mau anaknya tumbuh menjadi pribadi temperamental. Ia berjuang keras mengikis amarah buah hatinya. Kini Yuni mulai memetik buah perjuangannya. Febri berkembang menjadi pemuda yang peduli terhadap ibu dan adiknya. Ia sedang menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta. Dengan berurai air mata, Yuni menceritakan kronologi musibah yang menimpanya dalam salah satu kegiatan AIDA beberapa waktu lalu.

Baca juga Mengalah Tak Berarti Kalah

9 September 2004 pagi, Yuni tak merasakan firasat apa pun bahwa hari itu bakal menjadi paling kelabu dalam perjalanan hidupnya. Padahal ada hal tak biasa yang ditunjukkan anaknya. Febri yang selalu bersemangat dan periang, tiba-tiba ingin mogok sekolah. Sembari menangis, ia merengek melarang ayahnya berangkat bekerja. Bahkan ketika Yuni tetap mengantarkannya ke sekolah, tangisnya tak kunjung reda.

Yuni baru menyadari isyarat dari anaknya itu ketika suaminya telah dinyatakan menjadi salah satu korban meninggal. Usai menyelesaikan tetek bengek pekerjaan rumah tangga, Yuni menyalakan televisi. Sekitar pukul 10.15 WIB, Yuni menonton berita tentang ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia. Seketika Yuni dilanda kecemasan. Ia langsung menuju Wartel (penyedia jasa telepon) untuk menghubungi suaminya. Ada nada dering dari gagang telepon. Namun berkali-kali ia memutar nomer telepon seluler suaminya, selalu saja tak ada jawaban.

Baca juga Menjadi Pahlawan Keluarga

Ia memutuskan pulang ke rumah. Meski resah, ia berharap  suaminya selamat dari kejadian itu. Tak berselang lama, ada kabar dari pihak Kedubes Australia; Suryadi menjadi salah satu korban meninggal dunia. Kesedihan Yuni tak terbendung. Kerabat dan tetangga berdatangan untuk membesarkan hatinya. Malamnya, mobil ambulans yang membawa jasad suaminya tiba di rumah tanpa suara sirine yang meraung, seperti permintaan Yuni. Ia tak mau anaknya terbangun dari tidur setelah seharian terus-menerus menangis.

Jasad Suryadi masih cukup dapat dikenali, meski darah segar terus mengucur dari sekujur badannya. Tubuhnya penuh lubang . Menurut informasi dari Kedubes, Suryadi terkena pagar berduri yang roboh. Keesokan paginya, jasad Suryadi dikebumikan.

Baca juga Berzikir untuk Kesembuhan

Ditinggal pergi selamanya oleh tulang punggung keluarga memaksa Yuni harus banting tulang seorang diri demi menghidupi Febri yang masih kecil. Peran bapak sekaligus ibu mau tidak mau diemban Yuni. Terlebih lagi ada perubahan sikap yang dialami oleh Febri. Sang anak yang biasanya periang berubah menjadi pemurung dan susah diatur. Yuni betul-betul merasakan betapa Febri terluka psikisnya. Bahkan menurut Yuni, ada indikasi sang anak ingin membalas dendam atas kematian ayahnya. “Berkali-kali ia bertanya, siapa yang telah membunuh ayah,” kata Yuni.

Namun seiring bertambahnya usia, sang anak dapat diajak untuk berpikir dan merenung. Yuni kerap menasihatinya agar tidak terjerumus ke dalam dunia kekerasan. Berkat jerih payahnya, Febri berhasil menyelesaikan studi di bangku SMA dan melanjutkan studi di perguruan tinggi. Menutup kisahnya, Yuni mengajak para hadirin untuk ikut menjaga perdamaian, agar tidak ada lagi orang-orang yang bernasib sepertinya.

Baca juga Mengubah Duka Menjadi Berkah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *