Rindu Ibu, Ekstremisme Luruh (Bag. 1)

Aliansi Indonesia Damai- Jenjang pendidikan menengah pertama dihabiskannya di pondok pesantren. Sembari belajar formal di Madrasah Tsanawiyah (setara SMP), ia juga mengaji kitab-kitab tradisional. Meski tak menemukan kenyamanan, ia bisa lulus dari pesantren setelah belajar tiga tahun.

Orang tua menghendakinya agar melanjutkan pendidikan di tempat yang sama. Namun ia menentangnya. Choirul Ikhwan memilih pendidikan umum (non keagamaan) di salah satu sekolah kejuruan di Madiun. Keputusan yang kelak mengubah haluan hidupnya hingga 180 derajat.

Baca juga Pendidikan Kritis Mengentaskannya dari Ekstremisme

Saat di SMK, Irul, demikian sapaan akrab Choirul Ikhwan, aktif dalam kegiatan ekstrakurikuler yang berbasis keagamaan. Ia menemukan kenyamanan dan kehangatan pertemanan di organisasi tersebut. Hal yang tak didapatkannya di rumah. Dari lingkaran persahabatan itu, Irul lantas diajak mengikuti pengajian eksklusif yang pesertanya terbatas.

Ia mendapatkan narasi keagamaan yang berbeda sepenuhnya dibandingkan dengan apa yang diterimanya di pesantren. Nyaris saban hari ia memeroleh doktrin kewajiban menegakkan syariat Islam. Umat Islam Indonesia dinilai belum menjalankan syariat Islam secara kaffah (total).

Baca juga Dari Wilayah Konflik ke Ruang Pendidik

Setelah lulus SMK, Irul sempat aktif mengikuti kajian-kajian yang diadakan organisasi kemasyarakatan yang gemar mengampanyekan khilafah. Namun itu tak lama lantaran kelompok ini tak memiliki program yang jelas dan terukur untuk mencapai misi tegaknya khilafah.

Setelahnya ia sempat aktif dalam partai politik berasaskan Islam. Tetapi keluar karena merasa tidak nyaman dan kerap berbeda pendapat dengan elit partai tentang pola penegakan syariat melalui jalur politik formal.

Baca juga Ali Fauzi Sembuh dan Menyembuhkan

Irul lantas bergabung dengan organisasi lain yang kala itu dipimpin oleh Abu Bakar Baásyir. Ia merasa cocok karena organisasi ini menggariskan “jihad” sebagai jalan penegakan syariat Islam. Harapannya untuk berjihad di jalan Allah dalam arti berperang, seolah akan segera terwujud. Namun nyatanya tak kunjung ada perintah untuk berjihad. “Nama organisasinya jihad, tapi nggak pernah berjihad. Kegiatannya malah bikin baksos (bakti sosial),” ujar Irul mengenang kekecewaannya.

Baca juga Titik-Titik Balik Seorang Ekstremis

Bersama dengan sejumlah teman, Irul lantas membuat kelompok sendiri bernama Jamaah Taliban Melayu (JTM) yang menempatkan Al-Qaeda sebagai role model. Selain melakukan kajian keagamaan, aktivitas JTM adalah pelatihan fisik, perakitan senjata api, dan percobaan pembuatan bom. Ekstremisme dalam pikiran Irul mencapai titik puncaknya di dalam kelompok ini.

Ia mengafirkan semua orang yang menyetujui, menjalankan, dan terlibat dengan sistem demokrasi, walaupun beragama Islam. Bahkan orang yang memiliki kartu tanda penduduk (KTP) juga dianggap kafir karena ikhlas bernaung di negara yang  menjalankan sistem kufur. (Bersambung).

Baca juga Kasih Sayang yang Tak Pantas Dinafikan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *