Tafakur Menyembuhkan Lukanya

“Dalam Islam memang boleh membalas cubitan dengan cubitan, namun akan lebih mulia jika mampu memaafkan.”

Aliansi Indonesia Damai- Mata kanan Iswanto Kasman hilang akibat ledakan bom mobil di depan kantor Kedutaan Besar Australia, tahun 2004 silam. Pelbagai macam material bom juga sempat bersarang di beberapa bagian tubuhnya. Ia mengaku mentalnya pernah sangat terguncang akibat musibah itu. Namun kini ia dengan ringan mengucapkan kalimat di atas.

Pria asal Wonogiri Jawa Tengah ini sedang menjalankan kewajibannya sebagai petugas keamanan pagi itu. Ia berjaga di area luar gerbang utama ketika dari arah utara Jalan HR Rasuna Said Jakarta Selatan muncul mobil box putih berjalan pelan dan tampak terseok-seok. “Mungkin sopir mobil masih belum terlalu mahir,” ujar Iswanto mengingat kata batinnya kala itu.

Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 1)

Tak lama berselang, kendaraan tersebut berhenti tak jauh dari posisinya berdiri. Ia ingin mengarahkan sang sopir agar memajukan mobilnya supaya tidak menghalangi lalu lalang kendaraan yang hendak keluar masuk kantor. Namun baru berjalan tiga langkah, ledakan dahsyat terjadi. Iswanto merasa tubuhnya terpental beberapa meter.  Beberapa saat kemudian terlihat awan putih mengepul tinggi.

Akibat peristiwa itu, Iswanto mengalami puluhan titik luka di sekujur tubuhnya, termasuk mata kanannya yang tak bisa diselamatkan. Bola matanya terpaksa diambil karena kemasukan logam sepanjang 2 sentimeter. “Saya harus menjalani beberapa kali operasi untuk mengambil serpihan yang ada di tubuh saya. Sakitnya luar biasa. Saya pernah sampai menangis,” katanya mengenang masa-masa kritis.

Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 2-Terakhir)

Setelah bola matanya diambil, Iswanto mengalami kesulitan menyesuaikan diri. Dokter memang menggantinya dengan bola mata palsu. Namun fungsinya lebih kepada aspek estetika. Selain tak bisa digunakan untuk melihat, bola mata itu tidak bisa menyerap air mata.

Kemarahan dan kebencian terhadap pelaku pengeboman sempat menghinggapi Iswanto. Bagaimana pun kehilangan indera penglihatan adalah kepahitan hidup yang akan terus melekat. Saat diminta untuk menghadiri sidang terdakwa kasus teror bom itu , ia mengaku masih sangat marah. Ketika pelaku mengajaknya bersalaman dan meminta maaf, ia tak mampu menjawab apa pun.

Baca juga Penyintas Bom Kuningan Berjuang Melawan Trauma

“Bisa dibayangkan betapa sakitnya hati saya pada saat itu. Ketika mata saya sudah hilang, saya harus bertemu dengan pelaku dan harus menerima pernyataan maafnya saat kondisi sidang. Ini hal yang sulit bagi saya,” ungkap Iswanto.

Usai sidang, lama sekali Iswanto merenung. Ia mencoba meredakan amarahnya. Hingga pada satu titik ia sadar bahwa kemarahan dan kebencian hanya menambah kegelisahan dalam dirinya.

Baca juga Sempat Diduga Pengebom, Keluarga Korban Bangkit dari Kesedihan

“Saya tidak berhenti bertafakur dan berpasrah pada Allah. Hanya itu yang bisa saya lakukan agar merasa lebih tenang. Pada akhirnya ada jawaban dari dalam hati saya. Bahwa saya juga manusia yang juga punya luput dan salah, begitu pun dengan orang lain,” tuturnya.

Perlahan, setelah ia mampu menerima takdir yang menimpanya. Ia kembali bekerja meski masih harus terus menjalani terapi. Kini ia bertekad ikut menebar perdamaian. Mata kanannya memang tak akan pernah kembali, namun semangat hidup Iswanto enggan terpejam.

Baca juga Penyintas Bom Bali Menjadi Ibu Sekaligus Bapak

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *