Sempat Diduga Pengebom, Keluarga Korban Bangkit dari Kesedihan
Aliansi Indonesia Damai- “Dek, itu ada bom meledak di daerah Kuningan.” Reni Agustina Sitania masih mengingat betul perkataan almarhumah ibunya itu 15 tahun silam. Spontan Reni langsung ikut menonton televisi yang mengabarkan peristiwa pengeboman di depan kantor Kedutaan Besar Australia, Jalan HR Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan. Keluarga langsung dihinggapi kecemasan karena Martinus Sitania, kakak Reni, bekerja di daerah Jakarta Selatan.
Tak lama berselang, keluarga menerima informasi bahwa Martinus menjadi salah satu korban meninggal dunia. Isak tangis keluarga pecah saat itu juga. Hal yang lebih menyedihkan, berdasarkan investigasi awal polisi, Martinus dicurigai sebagai pelaku pengeboman. Sebab posisi jasadnya sangat dekat dengan mobil box yang meledak. Tetapi dari penyelidikan lanjutan, dipastikan bahwa Martinus adalah korban yang sedang mengendarai sepeda motor persis di belakang mobil pembawa bom.
Baca juga Penyintas Bom Bali Menjadi Ibu Sekaligus Bapak
Kantor Martinus sebenarnya ada di daerah Pasar Minggu Jakarta Selatan. Namun menurut penuturan pihak perusahaan, pada 9 September 2004 pagi, ia mendapatkan tugas untuk menyetorkan uang tunai ke sebuah bank di kawasan Kuningan. Saat kejadian, tugasnya sudah tertunaikan dan Martinus hendak kembali ke kantor. Namun aksi teror itu merenggut nyawanya di usia yang masih muda; 29 tahun. “Jasadnya dipulangkan ke rumah sudah tak utuh,” ujar Reni dalam salah satu kegiatan AIDA beberapa waktu silam.
Reni mengenang kakaknya sebagai sosok yang sangat baik, bertanggung jawab, dan menjadi tulang punggung keluarganya, terutama semenjak sang ayah berhenti bekerja. Tak ayal kehidupan keluarga terasa berubah semenjak Martinus pergi selamanya. “Harapan saya untuk melanjutkan kuliah pupus. Rasanya hati sakit dan perih waktu itu,” tuturnya.
Pascamusibah itu, kedua orang tua Reni kerap sakit. Sedangkan Reni banyak merenung. Beberapa waktu berikutnya, Reni bergabung dengan Forum Kuningan (wadah penyintas Bom Kuningan). Ia mendapatkan semangat untuk bangkit dari kepedihan berkat dorongan dari orang-orang yang senasib. Ia merasa tidak sendiri lagi menghadapi musibah itu dan menyadari pentingnya saling support dengan berbagi cerita dan semangat positif.
Baca juga Penyintas Bom Bali Menjadi Bapak Sekaligus Ibu
Reni belajar menjadi pribadi yang lebih tegar dan senantiasa bersabar menjalani setiap ujian kehidupan. “Kuncinya kesabaran dan keikhlasan menjalani hidup ini. Apa pun yang terjadi kita tidak boleh terpuruk untuk bisa tetap melangkah dan menatap masa depan,” katanya.
Setelah mendapatkan izin dari keluarga, pada tahun 2019 Reni bergabung dalam Tim Perdamaian AIDA. Meskipun telah mengikhlaskan kepergian kakaknya, mulanya ia sempat ragu karena akan dipertemukan dengan mantan pelaku terorisme yang telah insaf. Namun saat bertemu langsung dengan Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme, Reni secara tegas mengatakan bahwa keluarganya sudah memaafkan semuanya dan tidak ingin membalas kejahatan dengan kejahatan.
Baca juga Penyintas Bom Bali: Lawan Kekerasan dengan Menebar Kebaikan