Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 1)
Aliansi Indonesia Damai- Tak hanya mencederai fisik dan psikis banyak korban, serangan teror bom di pelbagai lokasi di Indonesia juga menghilangkan jiwa-jiwa tak bersalah. Sebagian jiwa yang terenggut adalah “separuh nafas” bagi pasangan hidup dan anak-anaknya. Kehilangan tulang punggung keluarga tentu sangat menyesakkan. Namun para perempuan berikut pantang takluk atas keadaan.
Dalam rangka peringatan Hari Kartini yang jatuh pada 21 April 2020, Redaksi menyajikan sejumlah kisah perempuan tangguh yang berjuang membesarkan anak-anaknya tanpa kehadiran sosok ayah yang menjemput ajal akibat terorisme. Dengan segala keterbatasan, “Kartini-Kartini” masa kini itu berkomitmen mengantarkan anaknya menuju masa depan yang lebih cerah.
Wartini
Setelah berjuang selama dua tahun mengatasi sakit yang dideritan akibat peristiwa Bom Kuningan 2004, Syahromi menghembuskan nafas terakhir pada 19 November 2006. Ia meninggalkan Wartini dan tiga buah hati mereka, salah satunya masih berusia 6 bulan di kandungan.
Baca juga Penyintas Bom Kuningan Berjuang Melawan Trauma
Saat Syahromi masih bekerja sebagai petugas keamanan di kantor Kedubes Australia, Wartini memang berjualan makanan di depan rumahnya untuk membantu perekonomian keluarga. Namun sejak Syahromi harus menjalani perawatan rutin, ia memutuskan untuk fokus mendampingi suaminya.
Hamil besar, dua anak masih berusia belia, dan suami pergi selamanya. Fakta yang wajib dihadapi Wartini seorang diri. Hal yang tak terbayangkan sebelumnya. Nyaris saja ia putus asa karena tak mengerti harus berbuat apa. Namun ia menyadari bahwa nasib dan masa depan anak-anaknya sangat bergantung kepadanya.
Baca juga Sempat Diduga Pengebom, Keluarga Korban Bangkit dari Kesedihan
Bagi Wartini, anak-anak adalah kekuatan terbesar dalam hidupnya. “Saya harus kuat, kalau saya lemah bagaimana nasib anak-anak saya ke depannya. Saya berjuang terus untuk anak-anak saya. Kalau saya tidak berjuang, tidak kuat, saya tidak tahu bagaimana mereka nanti,” ucap Wartini dalam salah satu kegiatan yang dihelat AIDA.
Ia bekerja serabutan asalkan halal. Pernah hanya digaji 20 ribu sehari. Namun mengeluh adalah pantangan baginya. Ia menerima berapa pun rezeki yang didapatkan asalkan bisa menafkahi anak-anaknya dengan cara yang halal.
Baca juga Penyintas Bom Bali Menjadi Ibu Sekaligus Bapak
Perjuangan itu membuahkan hasil. Anak pertamanya telah menikah. Anak keduanya sudah tingkat akhir di salah satu perguruan tinggi di Ibu Kota, sementara si bungsu masih di bangku SMP. Perjalanan hidup anak-anak tak lepas dari kegigihan Wartini yang selalu memberikan support material dan non material untuk mereka.
Yuni Arsih
Jika Syahromi masih sempat menjalani hidup usai terkena ledakan Bom Kuningan 2004, Suryadi yang bekerja sebagai tukang kebun di kantor Kedubes Australia meninggal di tempat kejadian. Ia meninggalkan Yuni Arsih, istri, dan Febri Renaldi, putranya yang masih berusia 5 tahun.
Kehidupan Yuni, sapaan akrab Yuni Arsih, berubah drastis setelah 9 September 2004. Sebelumnya ia menjalankan peran sebagai pengurus rumah tangga, sementara Suryadi yang bekerja memenuhi nafkah keluarga. Namun musibah tersebut menuntutnya menjalankan kedua peran secara bersamaan.
Baca juga Penyintas Bom Bali Menjadi Bapak Sekaligus Ibu
Problem lain yang dihadapinya adalah perubahan mental anaknya. Saat sang ayah masih hidup, Febri adalah pribadi yang santun, penurut dan cukup pintar. Namun sekitar seminggu setelah kepergian ayahnya, muncul perubahan. Selain mudah marah, Febri malas berangkat ke sekolah. Padahal di sekolah ia dikenal pintar karena sudah bisa membaca dan menulis di usianya yang masih dini.
Namun Yuni tak kenal lelah memberikan semangat dan motivasi bagi anaknya. Ia selalu menekankan kepada anaknya bahwa berputus asa hanya akan berdampak negatif bagi masa depannya. Berkat jerih payah Yuni, Febri kini menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi swasta.
Baca juga Penyintas Bom Bali: Lawan Kekerasan dengan Menebar Kebaikan