03/06/2020

Guru sebagai Penggerak Perdamaian

Oleh: Linda Astri Dwi Wulandari
Perintis Sekolah Alam Ngelmu Pring Batu Malang

Beberapa waktu yang lalu pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, Nadiem Makarim, dalam rangka memeringati Hari Guru 25 November, ramai diperbincangkan. Nadiem dinilai menyampaikan pidato yang benar-benar mewakili perasaan para pendidik menghadapi dinamika sistem pendidikan di negeri ini. Dalam poin sambutannya, saya tertarik dengan kutipan kata “guru penggerak” yang ia sampaikan. Tagar #gurupenggerak pun ramai diperbincangkan.

Sebelum Nadiem menggaungkan istilah “guru penggerak”, konsep ini sering disampaikan oleh aktivis pendidikan Indonesia di akar rumput. Mereka sadar ingin mendorong peran guru bukan hanya sebagai pengajar di dalam kelas, namun juga sebagai penentu masa depan bangsa. Guru seyogyanya mampu menjadi tonggak maju dan mundurnya generasi penerus bangsa.

Baca juga Kompensasi dalam Etika Keadilan

“Perubahan tidak dapat dimulai dari atas. Semuanya berawal dan berakhir dari guru.” Begitulah kutipan pidato Nadiem kala itu. Artinya guru menjadi kunci dalam sebuah perubahan. Hal yang disampaikan Nadiem sesungguhnya sejalan dengan konsep pendidikan yang diterapkan oleh Bapak Pendidikan, Ki Hadjar Dewantara di Tamansiswa. Konsep tersebut tak lain adalah dengan menerapkan “Sistem Among”, “Tutwuri Handayani” dan “Tringa”.

“Sistem Among” merupakan cara  mendidik dengan  konsep “mengemong”, memberi kebebasan anak bergerak menurut kemauannya, tetapi pamong/guru akan bertindak, kalau perlu dengan paksaan, apabila keinginan anak membahayakan keselamatannya. Selanjutnya “Tutwuri Handayani” berarti guru sebagai pemimpin mengikuti dari belakang, memberi kemerdekaan bergerak bagi yang dipimpinnya, namun tetap memengaruhi dengan daya kekuatan, kalau perlu dengan paksaan dan kekerasan apabila kebebasan yang diberikan itu digunakan untuk menyeleweng dan akan membahayakan diri.

Baca juga Desisten dari Terorisme

Yang terakhir, “Tringa” yang meliputi konsep mendidik dengan “ngerti, ngrasa, dan nglakoni”. Guru sebagai pamong harus mampu mengingatkan terhadap segala ajaran, bahwa cita-cita hidup yang dianut diperlukan pengertian, kesadaran dan kesungguhan dalam pelaksanaanya. Jika konsep-konsep tersebut dilaksanakan dengan baik oleh guru di Indonesia, maka pendidikan karakter siswa akan terus terpupuk dengan penuh “rasa” dan kepekaan.

Sayangnya kekerasan justru banyak lahir dalam lingkup pendidikan di Indonesia. Mulai dari perundungan, tawuran, hingga yang paling ekstrem adalah terorisme. Artinya peran guru yang diharapkan bisa membentuk karakter siswa seperti yang dicita-citakan Ki Hadjar Dewantara masih belum bisa tercapai.

Baca juga Mewaspadai Propaganda Ekstremisme Saat Pandemi

Dunia pendidikan disusupi kelompok-kelompok ekstremis untuk menyebarkan ideologi mereka. Kelompok-kelompok itu sadar sepenuhnya bahwa pendidikan mampu menjadi media penting dalam membangun nilai dan membentuk ideologi tertentu yang mereka percaya. Tidak sedikit guru yang kemudian terlibat ikut menyebarkan paham-paham ekstremis.

Dilansir dari Media Indonesia 21 Mei 2018, Penelitian Lembaga Kajian Islam dan Perdamaian (Lakip) antara Oktober 2010 dan Januari 2011 terhadap lebih dari 2.000 guru pendidikan agama Islam (PAI) dan siswa di wilayah Jabodetabek misalnya, menunjukkan tingkat persetujuan terhadap pengeboman yang dilakukan pelaku tindak terorisme sebagai bentuk perlawanan terhadap Barat mencapai angka 7,5% di kalangan guru dan 14,2% di kalangan siswa. Dalam konteks isu lokal seperti penyegelan atau perusakan tempat ibadah, tingkat persetujuan di kalangan guru mencapai angka 40,9%, sedangkan di kalangan siswa 52,9%.

Baca juga Nalar Kritis Benteng Ekstremisme

Menilik data tersebut, seharusnya sekolah mengupayakan sistem pendidikan berbasis perdamaian. Guru harus dibekali dengan kemampuan menciptakan suasana yang memungkinkan siswa terus mengembangkan perilaku sosial dan karakter yang positif. Diskursus #gurupenggerak yang digaungkan oleh Nadiem selayaknya tak hanya menjadi tagar semata, namun juga mesti dijiwai oleh para pendidik di Indonesia untuk menggerakkan anak didiknya tumbuh menjadi generasi berkarakter dan tentu saja mencintai perdamaian dan kebaikan. Asal diterapkan secara tepat dan sepenuh hati, konsep pendidikan Ki Hadjar lebih dari cukup sebagai bekal membangun generasi yang berkarakter damai.

Baca juga Tradisi Bermaafan Cikal Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *