Kisah Perempuan Korban Bom Bali 1: Mengganti Peran Sosok Ayah
Aliansi Indonesia Damai- Kehilangan sosok suami bukanlah perkara mudah bagi seorang perempuan, apalagi bagi mereka yang masih harus membesarkan anak-anaknya. Secara otomatis, mereka harus memainkan peran ganda; tetap menjadi ibu sekaligus “ayah” bagi anak-anaknya. Tak jarang kehidupan menjadi serba sulit dan harus dijalani dengan tertatih-tatih.
Sejumlah perempuan korban serangan bom Bali tahun 2002 silam adalah cermin dari kehidupan sulit semacam itu. Di antara mereka adalah Ni Luh Erniati, Nyoman Rencini, dan Ni Wayan Rasni Susanti. Namun di tengah musibah yang ada, mereka mampu bangkit mengalahkan berbagai kesulitan hidup. Mereka merajut kembali kehidupan baru, dan menjadikan anak-anak mereka sebagai penguat untuk bangkit dari keterpurukan.
Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 1)
Tidak Putus Asa
Pascaserangan bom, para perempuan itu harus menerima kenyataan pahit lantaran harus menjadi orang tua tunggal sekaligus tulang punggung bagi anak-anaknya. Frustasi dan menyerah sempat dirasakan sebagian korban. Ni Luh Erniati misalnya, ia sempat ingin bunuh diri karena tak kuat menahan beban yang begitu berat. Namun berkat iman dan inspirasi dari anak-anaknya, ia memilih ikhlas menjalani berbagai rintangan hidup. Erni bergabung dengan komunitas Adopta (sebuah kumpulan usaha menjahit dari beberapa perempuan korban bom Bali).
Sempat frustasi dan putus asa juga dialami Nyoman Rencini. Mulanya ia sangat bingung akan kebutuhan hidup yang harus ia penuhi setelah ditinggal suami. Seiring waktu, Rencini mulai sadar betapa musibah sejatinya tak mungkin bisa dihindari. Karena itu ia mengaku tidak mendendam kepada pelakunya. Tiga bulan setelah kejadian, Rencini mengadu nasib ke Kota Denpasar. Ia membuka kios minuman. Walaupun pendapatannya sedikit tetapi bisa menyambung kehidupan keluarga.
Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 2-Terakhir)
Demikian pula kisah Ni Wayan Rasni Susanti. Kala sang suami masih hidup, ia biasa fokus merawat dan mendidik anak-anaknya di rumah, sementara sang suami bekerja. Namun semenjak kehilangan suami, Rasni hanya mengandalkan uang tabungan untuk kebutuhan hidup keluarga. Di tengah keterbatasan ekonomi keluarga, Rasni memutuskan untuk mencari penghasilan sendiri. Ia pernah menjual makanan ringan dan pakaian, dan pada akhirnya bekerja di perusahaan Garmen pada tahun 2011.
Merajut Kehidupan Baru
Berbagai cobaan hidup itu justru mendorong mereka menjadi seseorang yang mandiri dan tangguh bagi kehidupan keluarganya. Erni mengaku kehadiran psikolog telah memberi dampak luar biasa untuk menata kehidupan yang baru. Selain itu, dukungan dari orang-orang yang peduli juga membantunya untuk memperkuat rasa percaya diri.
Baca juga Penyintas Bom Bali Menjadi Ibu Sekaligus Bapak
Dengan sikap pantang menyerah, pekerjaan Erni bersama Adopta terus berkembang. Pelanggan pun terus berdatangan. Ia amat bersyukur karena anak-anaknya mendapatkan beasiswa dari Yayasan Kemanusiaan Ibu Pertiwi (YKIP) untuk menyelesaikan studi mereka.
Sedangkan Rencini, kehidupan baru membuatnya bisa menjalankan ajaran agama dengan lebih baik. Ia meyakini bahwa Tuhan sesungguhnya mengetahui berbagai kesulitan hidup yang ia alami. Karena itu berbagai musibah itu tidak lantas membuatnya menjauh dari Tuhan, justru ia belajar untuk terus mengasah dan meningkatkan spiritualitas keagamaannya. Apalagi hidup akan terus berjalan. Mereka harus membesarkan anak-anaknya, baik dalam keadaan suka maupun duka. “Dengan seluruh keterbatasan, saya berusaha membesarkan anak-anak, karena merekalah tujuan hidup saya,” katanya.
Baca juga Penyintas Bom Bali: Lawan Kekerasan dengan Menebar Kebaikan
Dari sebagian kisah perempuan korban terorisme di atas, kita bisa melihat bahwa terorisme adalah kejahatan yang berdampak panjang bagi korbannya. Para perempuan tangguh di atas mengajak kita untuk saling merangkul dan menyembuhkan luka agar perdamaian benar-benar terwujud di Indonesia.
Sumber: Dwi Yani, Janda-Janda Korban Terorisme di Bali, 2016