20/08/2020

Hijrah untuk Kemerdekaan

Oleh: M. Syafiq Syeirozi
Alumni PP Bahrul Ulum Tambakberas Jombang

Peringatan hari ulang tahun kemerdekaan RI ke-75 cukup spesial. Bukan saja karena situasi pandemi mengharuskan perayaan yang jauh dari ingar-bingar, namun pula beriringan dengan tahun baru hijriah. Kalender hijriah merujuk pada peristiwa monumental dalam sejarah Islam, yaitu hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah. Apakah ada kaitan langsung antara hijrah Nabi dengan kemerdekaan RI? Tidak ada! Namun RI juga memiliki pengalaman hijrah.

Saat usia Republik masih seumur jagung, pemerintah dua kali menghijrahkan pusat pemerintahan. Pertama, pada 4 Januari 1946 ibu kota dipindahkan dari Jakarta ke Yogyakarta. Kedua, Presiden Soekarno memandatkan kepada Syafruddin Prawiranegara untuk membentuk pemerintahan darurat di Sumatera. Perintah ini muncul pada Desember 1948.

Baca juga Kehancuran di Balik Egoisme

Soekarno dan Muhammad Hatta, dua tokoh pergerakan yang paling berpengaruh kala itu, memang “nekat” memproklamasikan kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Padahal situasi masih sangat mencekam. Malam sebelum proklamasi, Soekarno dan Hatta diundang oleh Mayjend Nishimura, Kepala Pemerintahan Umum. Atas instruksi pemerintah Jepang, Nishimura wajib menjaga status quo hingga tentara sekutu hadir di Indonesia. Keputusan tersebut merupakan konsekuensi kekalahan Jepang dari sekutu dalam perang dunia II.

Hatta secara lantang menolak keputusan itu. “Kalau Jepang tidak mampu lagi menepati janjinya, rakyat Indonesia sendiri akan memerdekakan dirinya. Kami minta jangan kami dihalang-halangi. Rakyat Indonesia, dengan pemuda di muka, bersedia mati untuk melaksanakan cita-cita Indonesia merdeka.” (Mohammad Hatta, Memoir, hlm. 453).

Baca juga Berkurban dalam Pengorbanan Corona

Walhasil dua bulan pascaproklamasi kemerdekaan, tentara Belanda kembali datang ke Indonesia. Misinya tentu menancapkan kembali cengkeraman kolonialisme. Tatkala situasi di Jakarta sangat genting sehingga roda pemerintahan terancam, maka diputuskanlah hijrah ke Yogyakarta.

Situasi lebih mencekam terjadi saat agresi militer Belanda II. Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Muhammad Hatta ditangkap oleh militer Belanda. Bersama sejumlah pejabat negara lainnya, mereka dibuang ke Pulau Bangka. Atas desakan sejumlah negara, para pemimpin lantas dibebaskan sehingga dapat melakukan rangkaian perundingan lagi.

Baca juga Menagih Kehadiran Negara untuk Korban Lama (Bag. 1)

Perundingan-perundingan tersebut menuai hasil. Pada 27 Desember 1949, Ratu Juliana menyerahkan sepenuhnya kedaulatan Indonesia kepada pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS). Pada Agustus 1950 struktur negara federasi RIS diubah menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ratusan abad sebelumnya, sekitar tahun 600-an Masehi, Nabi Muhammad SAW juga menjalankan hijrah dari kota kelahirannya, Makkah, menuju Yatsrib (Madinah). Eskalasi intimidasi fisik dan psikis kaum kafir Quraisy kepada Nabi SAW terus meningkat, terutama sejak meninggalnya paman beliau, Abu Thalib. Walhasil turunlah instruksi hijrah dari Allah.

Baca juga Menagih Kehadiran Negara untuk Korban Lama (Bag. 2)

QS. Al-Anfal: 30 merekam situasi genting yang menimpa Nabi. “Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.”

Lantaran khawatir melihat pendukung Nabi SAW kian banyak, sejumlah petinggi Quraisy menggelar rapat. Beberapa opsi sempat diwacanakan; pengusiran, pemenjaraan, dan yang disepakati adalah pembunuhan. Sejumlah pemuda akan mengeksekusi Nabi SAW di rumahnya. Tetapi rencana tersebut gagal total karena Nabi berhasil lolos dari kepungan mereka (Ibnu Hisyam, Sirah Nabawiyah).

Baca juga Media Sosial sebagai Sarana Perdamaian

Nabi SAW lantas membangun masyarakat Madinah berdasarkan konsensus yang disebut sebagai Shahifah Madinah. Inilah yang kemudian menjadi cikal bakal sistem pemerintahan Islam modern. Puncak kegemilangan perkembangan Islam adalah kala Nabi SAW bersama para sahabatnya berhasil kembali ke Makkah. Peristiwanya tak kalah monumental: Fathu Makkah.

Peristiwa-peristiwa di atas menunjukkan bahwa hijrah adalah strategi menuju kemerdekaan insani seutuhnya, baik dalam kehidupan beragama, bersosial, maupun berpolitik. Fitrah manusia adalah kebebasan menentukan jalan hidupnya sendiri, tentu saja dalam koridor kemaslahatan.

Baca juga Agen Sosialisasi Perdamaian

Apakah kini hijrah yang bersifat fisik masih relevan? Tentu. Para perantau yang meninggalkan kampung halamannya; untuk menutut ilmu, mencari sumber kehidupan yang halal, atau misi mulia lain adalah pelaku hijrah.

Namun ada pula hijrah nonfisik, sebagaimana digambarkan Nabi SAW dalam sabdanya, “Seorang muslim adalah orang yang kaum muslimin selamat dari (keburukan) lisan dan tangannya. Dan seorang pelaku hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang oleh Allah” (HR Bukhari No. 10).

Baca juga Guru sebagai Penggerak Perdamaian

Semua orang berkesempatan menjalankan hijrah model demikian, bahkan setiap hari. Sejatinya manusia yang berkomitmen memerbaiki dirinya terus menerus demi kemaslahatan pribadi dan sosial adalah pelaku hijrah dalam arti substantif. Maka agak mengherankan jika ada orang yang mengklaim berhijrah, namun lantas gemar mencerca dan mencaci-maki sesama manusia; sesuatu yang dilarang Allah.

Kita bisa belajar dari “hijrahnya” mantan pelaku ekstremisme kekerasan menuju jalan perdamaian dan kebangkitan penyintas terorisme. Sebagaimana hijrah fisik, keputusan mereka juga penuh tantangan. Mantan pelaku harus menghadapi kecaman, bahkan intimidasi dari rekan-rekannya yang masih menggumuli ekstremisme. Belum lagi keraguan sebagian kalangan terhadap komitmen pertobatan mereka.

Baca juga Desisten dari Terorisme

Sementara penyintas terorisme berjuang menaklukkan egonya berupa amarah dan dendam terhadap para pelaku yang telah merenggut kebahagiaan mereka. Banyak korban berhasil menjadi pribadi yang mampu berdamai dengan kenyataan dan berwatak pemaaf.

Hijrahnya mantan pelaku dan korban menghasilkan Tim Perdamaian. Kedua pihak bahu-membahu mengampanyekan perdamaian demi Indonesia yang lebih damai, aman, tenteram, gemar ripah loh jinawi, baldatun thayyibatun wa Rabbun ghafur. Dirgahayu RI ke-75 dan selamat Tahun Baru 1442 Hijriah!

Baca juga Mewaspadai Propaganda Ekstremisme Saat Pandemi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *