23/01/2021

Pengalaman Spiritual Penyintas Bom Kuningan

“Saya depresi luar biasa. Setiap hari marah, emosi, benci dan dendam. Dulu sehat tapi kini harus tidur dan makan di kursi roda. Bahkan setelah satu tahun, saya masih ingin mencari pelakunya. Pada akhirnya saya sering iktikaf di masjid, menenangkan diri. Dan saya dapatkan hal luar biasa. Perlahan saya hilangkan kebencian dan rasa dendam”.

Aliansi Indonesia Damai- Sepotong penuturan di atas disampaikan oleh Ram Mahdi Maulana, penyintas Bom Kuningan 2004 dalam salah satu kegiatan AIDA. Kisah Mahdi patut menjadi ibroh (pembelajaran) bahwa setiap peristiwa buruk yang menimpa seseorang bukanlah alasan untuk terpuruk dan meratapi keadaan. Sebaliknya ujian selalu ada agar setiap orang mampu bangkit dan menjadi pribadi yang lebih kuat lagi.

Baca juga Pengabdian Tak Kenal Keterbatasan

Bom yang meledak di depan kantor Kedutaan Besar Australia 16 tahun lalu itu membuat Mahdi mengalami sejumlah luka, tidak hanya fisik tetapi juga psikis. Ia mengalami penurunan fungsi pada sebagian anggota tubuhnya, terutama di syaraf. Akibat benturan yang sangat kencang, darahnya menggumpal di bagian kepalanya, rahang kanan patah dan rahang kiri lepas. Di bagian telinga kanan, gendang telinganya juga rusak.

Selama dua bulan Mahdi dirawat di rumah sakit secara intensif. Sekarang, belasan tahun setelah peristiwa itu terjadi, ia masih harus berobat. Peristiwa itu membuatnya depresi dan sempat ingin membalas dendam terhadap pelakunya. Ia harus menjalani fisioterapi karena tidak mampu memegang benda apa pun. Sejak peristiwa itu pula ia merasa masa depannya sudah tak tertolong lagi. Ia terus menerus emosi sambil meratapi keterpurukannya.

Baca juga Ibu Korban Bom: Kenapa Membunuh Anak Saya?

Tak sampai di situ, dua tahun setelah kejadian Mahdi masih mengalami depresi. Musababnya, ia tak mampu bekerja secara maksimal. Oleh rekan-rekan kerjanya Mahdi dianggap tak mampu bekerja lagi dan cenderung diremehkan. Mahdi lantas berkeinginan untuk keluar dari pekerjaannya. Kejadian demi kejadian berat terus berlanjut ia alami. Sampai ia memilih rutin beriktikaf di masjid dan mendekatkan diri pada Allah SWT.

Suatu waktu, ia bertemu dengan seseorang yang tak ia kenal. Orang itu mengatakan, “Saya tahu apa yang kamu rasakan. Kebencian akan terkikis, sementara kebaikan tidak akan pernah habis.” Mahdi merasa ada sesuatu yang luar biasa dari pernyataan itu. Ia bertanya-tanya siapa sebenarnya orang itu. Ia pun membatalkan diri untuk mundur dari pekerjaannya. Mahdi juga pernah mendapati seseorang tengah mendoakan seekor kucing yang terluka. Orang itu justru memohon ampunan bagi orang yang melukainya.

Baca juga Ujian Ketangguhan Iman

Mahdi merasa ada begitu banyak peristiwa yang mengajarinya tentang ketangguhan hidup. Semenjak itu, ia tak lagi meratapi keterpurukannya. Ia juga tak lagi bicara tentang baik dan buruk, positif dan negatif. Karena hal itu menurut dia bersifat relatif. Ia pun merenungi makna dari sebuah cinta yang sifatnya absolut dan selalu memberi.

Mahdi merasa apa yang menimpanya adalah takdir Ilahi yang harus diterima, bukan diratapi. Saat itu pula ia belajar untuk mulai menghilangkan dendam dan kebencian melalui tempaan spiritualitas dan perenungan.

Baca juga Anakku Penguatku

Mahdi kemudian mengajarkan kepada anak-anaknya tentang arti dari sebuah keikhlasan. Ia selalu meminta anak-anaknya untuk tidak menyimpan dendam dan menjadi pribadi pemaaf. Menurut Mahdi, seseorang yang memberi maaf tidak cukup sekadar mengulurkan tangan semata. Lebih dari itu, yang lebih penting adalah kesediaan melapangkan dada sebagai tanda perwujudan bahwa ganjalan hati akibat kesalahan orang lain telah hilang sama sekali.

Baca juga Berbagi Cerita Melawan Trauma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *