Pertobatan untuk Perdamaian
Dengan suara terisak dan air mata mengalir, si fulan, mantan pelaku pengeboman menghaturkan permintaan maaf kepada seorang korban terorisme. Ia berharap sang korban berkenan memaafkannya. Dengan begitu dapat mengurangi beban dosa sekaligus meringankan pertanggungjawabannya di depan Allah Swt.
Dulu ia memanjatkan syukur kepada Allah dan berteriak girang saat mengetahui bom rakitannya berhasil meledak. Tak heran, ia masih meyakini bahwa pengeboman adalah bagian dari jihad fi sabilillah untuk menegakkan keluhuran agama. Ia tak menghiraukan nyawa-nyawa yang melayang, darah yang tumpah, dan anggota tubuh yang rusak. Baginya setiap perjuangan pasti menimbulkan korban.
Baca juga Pemaafan Penyintas Bom Thamrin untuk Perdamaian
Seiring waktu ia menyadari bahwa aksinya dulu adalah kesalahan besar. Tujuan perjuangannya tak pernah tercapai. Umat Islam malah membenci aksi mereka karena dianggap telah mencemarkan Islam sebagai rahmatan lil alamin. Aparat keamanan lantas bereaksi dengan meringkus kolega si fulan, baik yang aktif (ikut merancang, menyiapkan, mengeksekusi) maupun yang pasif (sekadar bergabung dalam kelompok tersebut).
Kemudaratan yang tak pernah dibayangkan si fulan adalah penderitaan korban. Banyak saudara sebangsa, bahkan seiman, harus meregang nyawa. Mereka meninggalkan para perempuan sebagai janda dan bocah-bocah sebagai yatim. Sementara yang masih diberi kesempatan hidup harus menanggung derita fisik dan trauma psikis jangka panjang.
Baca juga Keutamaan Memaafkan
Korban meninggal dunia dan yang cedera ternyata menimbulkan rentetan dampak. Pasalnya mereka adalah tulang punggung perekonomian keluarga. Perempuan yang menjanda harus banting tulang untuk menafkahi dan membesarkan anak-anaknya yang berstatus yatim. Sementara korban cedera harus kehilangan pendapatan selama beberapa bulan karena masa penyembuhan. Walhasil keluarga yang ditanggungnya harus mengencangkan ikat pinggang.
Saat menyadari kezalimannya, si fulan teringat sabda Nabi Muhammad Saw:
مَنْ كَانَتْ عِنْدَهُ مَظْلَمَةٌ لِأَخِيهِ فَلْيَتَحَلَّلْهُ مِنْهَا، فَإِنَّهُ لَيْسَ ثَمَّ دِينَارٌ وَلَا دِرْهَمٌ مِنْ قَبْلِ أَنْ يُؤْخَذَ لِأَخِيهِ مِنْ حَسَنَاتِهِ فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُ حَسَنَاتٌ أُخِذَ مِنْ سَيِّئَاتِ أَخِيهِ فَطُرِحَتْ عَلَيْهِ
“Barang siapa telah melakukan kezaliman terhadap saudaranya (muslim), hendaklah dia meminta kehalalan dari saudaranya (dimaafkan), karena di sana (akhirat) tidak ada lagi dinar atau dirham. Pada awalnya, akan diambil kebaikan-kebaikan dari pihak yang menzalimi dan diberikan kepada saudaranya yang dizalimi. Apabila orang yang zalim itu sudah tidak memiliki kebaikan, kejelekan-kejelekan orang yang dizalimi akan diambil dan diberikan kepadanya.” (HR Bukhari dan Muslim).
Baca juga 2021: Instrospeksi untuk Kemaslahatan
Beruntung, si korban memaafkannya seraya menuntut agar pertobatannya kafah. Tak boleh lagi si fulan mengulangi aksinya. Si fulan memang telah berkomitmen untuk meninggalkan kelompok ekstremisme kekerasan meski harus menanggung risiko dikafirkan, bahkan ancaman kekerasan. Lebih jauh ia bahkan berusaha menyadarkan para koleganya untuk mengikuti jejaknya; meninggalkan jalan kekerasan dan hidup dalam perdamaian.
Si fulan menyadari pentingnya perdamaian. Sulit mendapatkan kekhusyukan dalam ibadah dan kenyamanan bermunajat kepada Allah Swt dalam suasana penuh pergolakan fisik. Cita mewujudkan umat Islam yang luhur dan bermartabat juga lebih mudah diwujudkan dalam situasi damai.
Sebagai salah satu bentuk pertobatannya, si fulan tak pernah merasa rendah diri untuk meminta maaf kepada setiap korban terorisme, tanpa terkecuali. Semoga Allah menerima taubatnya.