Pendidikan untuk Perdamaian
Oleh Faruq Arjuna Hendroy
Alumni IMM Komisariat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Rasa-rasanya kita tidak boleh bosan mengampanyekan pentingnya pendidikan. Di Indonesia, kita biasanya merayakan hari pendidikan setiap 2 Mei. Namun sejak tahun 2019 praktis kita merayakan dua kali hari pendidikan dalam setahun. Pasalnya Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menetapkan 24 Januari sebagai Hari Pendidikan Internasional. Sebagai bagian dari komunitas global, perayaan ini sepatutnya kita sambut dengan gembira.
Tema yang diangkat oleh PBB di balik penetapan Hari Pendidikan Internasional (HPI) ini cukup menarik. Selain bertujuan untuk meningkatkan kesadaran bahwa pendidikan adalah hak fundamental manusia, HPI juga mengampanyekan peran pendidikan dalam menciptakan masa depan yang damai. Sekilas memang terdengar cukup klise. Namun jika ditelaah lebih lanjut, pendidikan dan perdamaian sejatinya memiliki korelasi yang kuat.
Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bagian 1)
Pendidikan adalah kunci untuk membuka gerbang kemakmuran. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pendidikan dapat membantu meningkatkan taraf hidup manusia. Orang yang terdidik akan memiliki kualifikasi kemampuan yang dibutuhkan di era yang serbakompetitif ini. Mereka akan mudah mendapatkan akses peluang kerja, yang tentunya akan berimbas pada terciptanya kesempatan hidup yang lebih baik.
Seorang yang mapan secara ekonomi besar kemungkinan terhindar dari perbuatan-perbuatan yang berbau kekerasan. Tidak butuh teori yang rumit dalam menjelaskan hal ini. Sebab fakta yang kita temukan di lapangan, tingginya kriminalitas kerap berbanding lurus dengan problem perekonomian. Aksi-aksi kejahatan secara dominan dipicu oleh desakan untuk memenuhi kebutuhan hidup, entah sifatnya keterpaksaan atau memang disengaja. Kalau sudah menyangkut ‘urusan perut’ memang tidak bisa dipandang sebelah mata.
Baca juga Metanarasi Agama: Kegagalan Kelompok Ekstrem (Bag.2)
Tanpa bermaksud mendiskreditkan, data menunjukkan, negara-negara yang minim tingkat pendidikannya lebih rentan jatuh pada konflik. Institut Statistik UNESCO pernah merilis 12 negara dengan tingkat literasi terendah di dunia, yaitu Nigeria, Sudan, Komoro, Irak, Pantai Gading, Sierra Leone, Afghanistan, Benin, Burkina Faso, Republik Afrika Tengah, Mali, dan Sudan Selatan. Hampir semua negara yang disebutkan di atas kerap jatuh dalam konflik komunal bersenjata yang tak berkesudahan, padahal sebagian merupakan negara yang kaya sumber daya alam.
Karena rendahnya tingkat pendidikan, akses untuk mendapatkan pekerjaan pun sangat terbatas. Situasi itu diperparah dengan perilaku otoritas yang koruptif dan mementingkan kepentingan pribadi. Walhasil para pemuda lebih memilih bergabung dengan kelompok milisi bersenjata karena tidak punya pilihan. Masa depan negara-negara tersebut akan selalu suram apabila tidak melakukan perubahan di segala lini. Perubahan itu bisa perlahan diwujudkan dengan pendidikan.
Baca juga Refleksi Akhir Tahun Korban, Pelaku Terorisme, dan Nurani Kita
Fungsi pendidikan tidak berhenti pada peningkatan taraf hidup. Lebih dari itu juga berperan dalam membentuk pola pikir. Orang yang terdidik cenderung memiliki wawasan yang luas karena mempelajari banyak hal sehingga mampu melihat dari berbagai perspektif. Seiring hal itu maka akan tumbuh sikap menghargai dalam melihat perbedaan. Orang yang terdidik tidak mudah menghakimi, apalagi membenci orang-orang yang berbeda. Mereka akan memahami bahwa dunia ini unik, diisi oleh orang-orang yang memiliki pemikiran dan latar belakang yang beragam.
Pendidikan dapat membentengi kita dari pengaruh-pengaruh buruk. Pendidikan yang mengedepankan budaya kritis akan memperkuat daya saring (filter) ketika menerima informasi, sehingga mampu membedakan antara yang baik dan yang buruk, ataupun menimbang yang benar dan yang salah. Orang yang terdidik tidak akan menelan mentah-mentah informasi yang belum teruji kebenarannya, terlebih jika informasi tersebut dibumbui provokasi. Dengan begitu, perlahan tapi pasti, perdamaian bakal terwujud.
Baca juga Distorsi Kaidah Ulil Amri: Upaya Memahami dan Menyikapi Kepemimpinan secara Utuh
Dewasa ini sistem pendidikan Indonesia mengalami kemajuan yang cukup memuaskan. Akses masyarakat ke dunia pendidikan semakin bagus, terbukti dengan tersedianya program wajib belajar gratis, hingga meluasnya ketersediaan sarana dan prasarana pendukung ke seluruh pelosok negeri. Setiap anak Indonesia saat ini relatif memiliki kesempatan yang sama dalam mengenyam pendidikan.
Meskipun begitu, sistem pendidikan kita masih dihadapkan dengan sejumlah tantangan. Orientasi kebanyakan lembaga pendidikan yang terlalu obsesif pada capaian akademik berdampak pada terpinggirkannya aspek pembentukan karakter. Seharusnya pendidikan moral masuk aspek prioritas, bukan ala kadarnya. Harapannya, ketika datang giliran para pelajar terjun ke masyarakat, ilmunya digunakan untuk tujuan-tujuan yang baik dan bermanfaat bagi sesama manusia.
Baca juga Pemerintahan Ideal Menurut Islam
Tantangan lainnya adalah kecenderungan pendidik Indonesia yang masih berhaluan feodal. Di mana pendidik menjadi satu-satunya narasumber, yang berimbas pada tertutupnya ruang diskusi dan menghambat budaya kritis pelajar. Kondisi ini semakin berbahaya ketika sebagian kecil pendidik justru mengajarkan doktrin-doktrin kekerasan, kebencian, dan permusuhan. Dalam relasi kuasa semacam ini, pelajar kesulitan menolak semua indoktrinasi itu.
Maka dari itu, kita semua harus benar-benar meresapi tujuan mulia HPI, di mana pendidikan harus mampu menciptakan dunia yang damai. Kita jadikan itu sebagai pelecut semangat untuk terus meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia. Sebab baik buruknya bangsa ini bergantung pada generasi muda yang saat ini tengah menimba ilmu.
Baca juga Refleksi Hari Ibu: Perempuan, Kasih Sayang dan Perdamaian