26/05/2023

Tiga Tahun Merdeka Belajar

Oleh: Siti Murtiningsih
Dekan Fakultas Filsafat UGM dan Anggota Dewan Pendidikan DI Yogyakarta

Apakah program Merdeka Belajar Kampus Merdeka sungguh telah memberikan kemerdekaan bagi mahasiswa, seperti idealnya pendidikan menurut Ki Hajar Dewantara?

Awal 2020, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan meluncurkan program Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM). Program ini, katanya, ”untuk menyiapkan mahasiswa menjadi sarjana yang tangguh, relevan dengan kebutuhan zaman, dan siap menjadi pemimpin dengan semangat kebangsaan yang tinggi”.

Landasan yuridis untuk program itu adalah Permendikbud No 3 Tahun 2020. Sebagaimana namanya, program ini bertujuan memberikan kemerdekaan belajar kepada mahasiswa agar bisa leluasa menyiapkan diri menghadapi tantangan kehidupan pascakuliah, yaitu dunia kerja. Sekarang, program ini sudah berjalan selama tiga tahun. Ini momen yang tepat untuk mengevaluasi dan melakukan refleksi tiga tahun merdeka belajar.

Baca juga Kritik Batin

Sudahkah program ini sungguh memberikan kemerdekaan bagi mahasiswa? Sejauh mana program ini dapat mendorong semangat interdisiplinaritas?

Hakikat pendidikan

Sebelum melakukan refleksi tentang program MBKM, kita perlu punya konsepsi memadai tentang hakikat pendidikan. Kita perlu membedakan pendidikan dari dua istilah lain yang sering dianggap sama, yaitu pengajaran (teaching) dan pemberian nasihat (preaching).

Ketika mendengar kata pendidikan, kita sering mengasosiasikannya dengan kegiatan sekelompok orang diajari atau diberi nasihat-nasihat tertentu oleh seorang guru. Padahal, bukan itu hakikat pendidikan. Pengajaran dan pemberian nasihat adalah bentuk sempit dan banal dari pendidikan. Namun, sayangnya, bentuk sempit dan banal inilah yang oleh kebanyakan orang dianggap sebagai hakikat pendidikan.

Baca juga Transformasi Masyarakat Digital

Bahkan Kamus Besar Bahasa Indonesia juga mengartikan pendidikan sebagai ’proses mengubah sikap dan tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan’. Dalam pengertian ini, peserta didik diposisikan sebagai obyek yang sikap, perilaku, dan pikirannya dapat diubah, dimanipulasi, dan diatur sedemikian rupa agar sesuai dengan norma-norma yang berlaku. Dengan kata lain, pendidikan adalah proses ”pembonsaian” peserta didik.

Pemahaman tentang pendidikan sebagai upaya ”pembonsaian” manusia ini sudah banyak dikritik dalam tren mutakhir filsafat pendidikan. Pandangan semacam ini dianggap sebagai cara konservatif dalam memahami pendidikan.

Oleh karena itu, UNESCO membuat definisi yang tak bertendensi ”pembonsaian” tentang pendidikan. Menurut mereka, pendidikan adalah ”the process of facilitating learning or the acquisition of knowledge, skills, values, beliefs and habits” (proses memudahkan pembelajaran atau pemerolehan pengetahuan, keterampilan, nilai, keyakinan, dan kebiasaan). Definisi UNESCO ini lebih bisa diterima oleh pandangan filsafat pendidikan yang nonkonservatif.

Baca juga Inovasi Beragama

Pendidikan bukan proses pembonsaian, melainkan proses pemfasilitasian peserta didik dalam belajar. Dalam pengertian ini, peserta didik memiliki kebebasan dan kemerdekaan dalam cara ia belajar dan apa yang ingin dipelajari. Sekolah atau guru hanya sebagai fasilitator.

Bapak Pendidikan Indonesia Ki Hajar Dewantara juga memiliki pandangan progresif tentang pendidikan. Ki Hajar menyatakan, ”Maksud pengajaran dan pendidikan yang berguna untuk kehidupan bersama adalah memerdekakan manusia sebagai anggota persatuan (rakyat).” Artinya, bagi Ki Hajar, tujuan pendidikan ini adalah untuk melahirkan manusia-manusia merdeka.

Dalam pengertian ini, tujuan pendidikan bagi Ki Hajar sebenarnya bukan untuk mengubah atau menyeragamkan pikiran dan perilaku anak didik, melainkan untuk membantu anak didik mencapai kemerdekaannya dalam berpikir dan berperilaku sesuai dengan kodrat baik pada setiap individu.

Kemerdekaan semu

Program Merdeka Belajar yang diinisiasi Kemendikbud, yang katanya mengambil inspirasi dari pandangan Ki Hajar, tampaknya belum sepenuhnya merealisasikan ide Ki Hajar. Merdeka Belajar dipahami secara sangat sederhana sebagai kebebasan mahasiswa untuk memilih mata kuliah di luar jurusannya atau kegiatan lain di luar kampus.

Baca juga Beda Idul Fitri Muhammadiyah dan NU Garis Lucu

Bebas memilih mata kuliah di luar jurusan atau kegiatan di luar kampus untuk diikuti belum tentu dapat melatih daya kritis mahasiswa sehingga menjadi manusia merdeka jika pada kenyataannya proses pendidikannya masih dogmatis dan indoktriner. Apalagi konsep Merdeka Belajar ini sekarang dibanalisasi semata sebagai upaya membuat mahasiswa agar terpapar pada dunia industri.

Mahasiswa dianjurkan magang di sana-sini, tetapi tak pernah diberi kesempatan berpikir secara kritis tentang, misalnya, apa arti kerja bagi manusia. Ini seperti menunjukkan program ini hanya untuk memenuhi kebutuhan industri akan tenaga kerja yang dapat dieksploitasi, karena tak punya daya kritis.

Hal ini dapat dibaca dari pernyataan para pejabat yang merancang program ini. Direktur Pembelajaran dan Kemahasiswaan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Aris Junaidi, umpamanya, dalam sambutannya di Buku Panduan MBKM mengatakan, ”Merdeka Belajar Kampus Merdeka merupakan kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, yang bertujuan mendorong mahasiswa untuk menguasai berbagai keilmuan yang berguna untuk memasuki dunia kerja.”

Baca juga Jihad Kesantunan Berbahasa Era Demokrasi

Dengan demikian, motif utama di balik program MBKM ini sebenarnya adalah untuk mencetak mahasiswa yang siap bekerja. Dengan kata lain, mahasiswa diberi kebebasan untuk tujuan yang sudah ditentukan, yaitu siap menghadapi dunia kerja. Artinya, kebebasan dan kemerdekaan yang diperoleh mahasiswa sebenarnya adalah kemerdekaan semu.

Dalam konteks ini, pelajar sebenarnya adalah pekerja dalam habitat yang lain. Mereka sudah dibebani dengan berbagai tuntutan agar setelah lulus dapat bersaing satu sama lain dalam memperebutkan peluang kerja. Kuliah lalu jadi sekadar upaya menyiapkan diri untuk ikut dalam kompetisi kerja. Padahal, pendidikan di perguruan tinggi seharusnya bukan semata untuk melatih tenaga kerja, melainkan untuk mendidik manusia.

Mendidik manusia ini tak cukup hanya dengan memberinya keterampilan teknis dalam melakukan sesuatu. Sebab, keterampilan-keterampilan teknis kini sudah bisa dilakukan mesin—bahkan dengan cara dan hasil yang lebih baik daripada manusia. Mendidik manusia perlu juga mempertimbangkan kompleksitas hidup manusia itu sendiri sehingga desain pendidikan seharusnya tak melulu dibangun dari perspektif industrialisasi.

Baca juga Kekerasan Pemuda, Cermin Asuhan Keluarga

Sejak bertahun-tahun lalu, kita sudah sering mendengar pernyataan bahwa pendidikan formal hanya membuat anak-anak muda terasing dari kampung halamannya. Itu karena desain pendidikan kita dibangun dengan perspektif tunggal, yaitu industrialisasi. Dalam perspektif ini, tujuan utama seseorang masuk perguruan tinggi adalah untuk bekerja di sektor industri. Padahal, wilayah dan masyarakat Indonesia itu beragam, tak semuanya masyarakat industrial.

Interdisiplinaritas dangkal

Salah satu aspek yang sangat perlu diapresiasi dari program MBKM adalah spirit interdisiplinaritas yang menyertainya. Melalui program ini, mahasiswa memiliki hak untuk dapat mengambil mata kuliah dari jurusan lain.

Namun, upaya membangun iklim interdisipliner ini tak disertai dengan pembangunan basis epistemologis yang memadai di jurusan masing-masing. Mereka hanya diminta menyesuaikan kurikulum beberapa mata kuliah agar bisa diambil mahasiswa dari jurusan lain. Karena tak ada basis epistemologis yang memadai bagi pertemuan dua jurusan, yang terjadi hanya tambal sulam, bukan integrasi antarbidang.

Baca juga Ramadhan dan Kesalehan Negara

Seorang mahasiswa jurusan psikologi mengambil mata kuliah di jurusan biologi, misalnya. Tanpa wawasan epistemologis tentang apa sebenarnya yang menghubungkan studi psikologi dan biologi, mahasiswa itu hanya sekadar akan menambah pengetahuan, tanpa punya kemampuan sintesis untuk mengintegrasikan pengetahuan psikologis dan biologis. Dengan demikian, yang muncul hanyalah interdisiplinaritas dangkal, yaitu mahasiswa sekadar punya pengetahuan di luar disiplinnya. Dalam kata lain, yang terjadi hanyalah multidisiplinaritas, bukan interdisiplinaritas.

Tak seperti multidisiplinaritas, interdisiplinaritas tak hanya mensyaratkan jukstaposisi berbagai disiplin ilmu, tetapi juga integrasi berbagai disiplin (Klein, 2017). Karena itu, upaya membangun kultur akademik interdisiplin di perguruan tinggi tak cukup hanya dengan program pertukaran pelajar.

Kampus perlu serius membangun jembatan epistemologis antarbidang keilmuan sehingga riset-riset integratif dimungkinkan.

*Artikel ini tayang di Kompas.id, edisi Rabu 17 Mei 2023

Baca juga Kekerasan Budaya

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *