Dukungan Keluarga, Sahabat dan Penyintas
Aliansi Indonesia Damai- Pria itu merapikan posisi kacamatanya, berusaha mengingat peristiwa kelam satu setengah dekade lalu. “Kaca-kaca gedung pecah berjatuhan dari atas dan daun-daun pepohonan pun rontok,” ucapnya menggambarkan situasi awal yang dia alami.
Christian Salomo adalah seorang petugas keamanan Kedutaan Besar (Kedubes) Australia. 9 September 2004 pagi menjelang siang, ia tengah bekerja seperti biasa. Sekitar pukul 10.30 WIB, tiba-tiba terjadi ledakan yang bersumber dari mobil box bermuatan bahan peledak di dekat lokasinya berjaga.
Christian terpental cukup jauh, pandangannya memudar, hanya melihat gumpalan asap tebal. Hampir seluruh tubuhnya mengalami luka bakar, sejumlah proyektil bom pun masuk ke dalam bagian tubuhnya. Ketika itu, Christian merasa ada sebuah benda yang jatuh mengenai tubuhnya dan terasa panas sekali. Ia ingin berlari menyelamatkan diri. Sayang usahanya gagal karena kaki kirinya yang berlumuran darah tak bisa digerakkan sama sekali.
Baca juga Korban Peduli Korban
“Kaki saya seperti mau lepas. Panas sekali,” tutur Christian berupaya mengenang. Di tengah rasa sakit yang ia derita, Christian berdoa agar diberikan kekuatan menahan rasa sakit tersebut. “Tuhan, saya ingin lebih baik, tapi jangan hentikan hidup saya sampai di sini,” pinta Christian.
Beruntung, seorang rekan kerjanya dan dua tukang kebun datang memberikan pertolongan. Christian digotong ke rumah sakit Metropolitan Medical Centre (MMC), tak jauh dari Kedubes Australia. Sembari menunggu evakuasi, Christian diminta menunggu di sebuah lantai gedung rumah sakit. Melihat begitu parah luka yang ia alami, Christian mulai terbayang kemungkinan terburuk, terutama bagi kaki kirinya.
Hasil pemeriksaan medis pun menemukan bahwa rahang Christian rusak, patah tulang kaki, bahkan kaki kirinya nyaris harus diamputasi. Ia sempat frustasi. Dalam pikirnya selalu terngiang-ngiang, ”Saya nggak mau jadi cacat, karena saya tulang punggung keluarga”.
Baca juga Menebar Kasih Sayang Mengubur Dendam
Christian memang menjadi tulang punggung keluarga sepeninggal sang ayah dan saudara laki-lakinya. Ia khawatir musibah itu membuatnya menjadi seorang difabel, secara otomatis akan membuatnya kesulitan menafkahi kebutuhan ibu dan adik perempuannya. ”Waktu itu kaki saya sempat akan dipotong, namun saya menolaknya. Saya bersyukur mendapat perawatan yang baik dan kaki saya tidak jadi diamputasi,” jelasnya.
Di tengah rasa putus asa, kunjungan kawan-kawan dan pertemuan dengan sejumlah korban lain membuat Christian makin kuat menghadapi musibah itu. Dari situ semangat hidupnya kembali tumbuh. Bagi Christian masih banyak korban lain yang kondisinya jauh lebih parah. Ada yang harus kehilangan sebagian anggota tubuhnya, bahkan meninggal dunia. Kendati demikian, mereka memilih ikhlas dan bangkit dari keterpurukan.
Selain dukungan sesama korban, keluarga juga menjadi salah satu alasan Christian untuk bangkit. Ia tidak mau menjadi beban bagi keluarga. Menurutnya, sebagai satu-satunya laki-laki di dalam keluarga, ia merasa bertanggungjawab terhadap kehidupan keluarganya. “Keluarga saya sangat berharap saya selamat. Adik saya menangis berhari-hari tidak mau kehilangan kakaknya. Dia takut kehilangan kakaknya lagi,” demikian ia berkisah dalam salah satu kegiatan yang dihelat AIDA.

Seiring berjalannya waktu, perlahan Christian bangkit dari keterpurukan. Ia pun mulai menata diri dengan berdamai dengan diri sendiri. Bagi Christian, semua yang terjadi adalah takdir yang harus diterima. Ia merasa masih diberi kesempatan untuk hidup. Karena itu ia bertekad untuk memperbaiki diri dan menjadi pribadi yang lebih baik lagi. “Saya survive, karena saya dikasih kesempatan hidup. Kehidupan ini terus berjalan. Saya harus lebih baik,” terang lelaki kelahiran Yogyakarta tersebut.
Setelah berdamai dengan diri sendiri, Christian kemudian mencoba babak baru, yakni memilih memaafkan mantan pelaku. Meskipun awalnya berat, namun ia bertekad kuat dan terus mencobanya. Kini, ia mengaku telah memaafkan pelaku. Menurut dia, apa yang dilakukan teroris bukanlah ajaran agama.
“Saya tidak marah karena agama. Semua yang menemani saya selama masa penyembuhan adalah seorang Muslim. Dari sana saya berpikir, mereka orang-orang Muslim adalah orang-orang baik,” pungkas Christian.