Penyintas Bom Kuningan: Bersyukur Masih Hidup (Bag. 1)
Aliansi Indonesia Damai- Syamsi Fahrul mengalami cedera parah akibat ledakan Bom Kuningan 2004. Sesaat pascaledakan, ia merasakan sakit sekali di bagian perutnya. Ternyata perutnya robek karena terkena serpihan bom. Ususnya sempat terburai keluar. Karena infeksi, dokter terpaksa memotong organ pencernaannya itu.
Syamsi sempat merasa di ambang kematian dan bersikap pasrah kepada Allah Swt. Namun ternyata takdir berkata lain. Ia bersyukur masih diberi kesempatan menghirup udara dunia. “Saya lihat bapak-bapak anggota Brimob tubuhnya hangus. Alhamdulillah, saya masih hidup. Banyak hikmah yang saya dapatkan setelah kejadian itu,” ujarnya dalam salah satu kegiatan kampanye perdamaian AIDA beberapa waktu silam.
Baca juga Korban Bom Kuningan: Pulih berkat Keluarga
Syamsi adalah pribadi yang humoris dan jenaka. Terbukti, meski pengalamannya cukup pahit, caranya bercerita sempat beberapa kali mengundang tawa dari peserta. Tahun 2004, Syamsi baru lulus dari SMA dan langsung mencari pekerjaan. Setelah beberapa kali melamar kerja, akhirnya ia diterima sebagai tenaga keamanan di Departemen Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Kantornya tak jauh dari Kedutaan Besar Australia, Jalan HR Rasuna Said Kuningan Jakarta Selatan.
9 September 2004 pagi, ia mendapatkan tugas untuk berjaga di pos keamanan. Sekitar pukul 10.30 WIB, terdengar ledakan yang sangat kuat dari arah kantor Kedubes Australia. Tubuh Syamsi terpental. Suasana berubah kacau, matanya tak bisa melihat apa-apa kecuali kepulan asap. Suara bising merusak pendengarannya.
Baca juga Mengambil Hikmah dari Musibah
Tanpa ia sadari perutnya mengalami cedera yang sangat parah. Ia berupaya meminta tolong sembari terus memegangi perutnya. “Saat itu keadaan gelap, dan telinga saya berdenging. Saya senderan di luar pos, kabut asap menghalangi pandangan. Tanpa terasa saya dibantu teman dan dipapah ke Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC),” tutur Syamsi berusaha mengingat kembali tragedi itu.
Oleh dokter, Syamsi disarankan menjalani operasi pemotongan usus. Sekitar 10 hari Syamsi tidak sadarkan diri dan kemudian harus menjalani rawat inap sebulan lebih. Selama di rumah sakit, Syamsi hanya diperbolehkan mengonsumsi makanan halus seperti bubur dan jus karena organ tubuhnya tak bisa mencerna makanan-makanan kasar. “Selama satu bulan saya hanya makan bubur, sayur dijus, apa saja dijus,” ungkapnya mengenang rasa bosannya kala itu.
Baca juga Menghentikan Dendam Buah Hati
Setelah satu bulan, ia masih diharuskan menjalani rawat jalan selama tiga bulan. Saat masa itu, Syamsi kembali mengalami infeksi akibat operasi sebelumnya. Ia kembali harus mendapatkan perawatan intensif di rumah sakit. “Perut saya dijahit sepuluh centimeter lagi,” ujarnya.
Dalam kondisi seperti itu, Syamsi senantiasa berzikir dan memohon kepada Allah agar ia tetap tenang dan bisa menghadapi musibah itu dengan kuat. Bahkan ia telah pasrah jika memang harus meninggal dunia. “Saya banyak berzikir saja, jika memang sudah ditakdirkan, saya ikhlas saja menerima kala itu,” ujarnya.
Baca juga Mengalah Tak Berarti Kalah