Jalan Panjang Pertobatan Ekstremis
Aliansi Indonesia Damai- “Tidak ada perubahan yang terjadi secara instan.” Adagium populer ini cukup menggambarkan kisah pertobatan mantan pelaku ekstremisme kekerasan, Kurnia Widodo, yang penuh lika-liku. Salah satu faktor fundamental yang menguatkan komitmen pertobatannya adalah pertemuan dengan para korban terorisme.
Mendengar kisah derita hidup para korban, sembari membayangkan bagaimana bila musibah itu terjadi pada keluarganya, secara perlahan, meski tak mudah, Kurnia menyadari betapa jalan kekerasan yang pernah ia tempuh merupakan kesalahan besar.
Kurnia adalah remaja berprestasi sejak SMA di Bandar Lampung. Ia melanjutkan kuliah jurusan teknik kimia di salah satu perguruan tinggi negeri prestisius di Bandung Jawa Barat. Sejak SMA dia telah berkenalan dengan kelompok ekstrem, yang lantas diketahuinya sebagai Negara Islam Indonesia (NII).
Baca juga Merajut Ukhuwah Merawat Perdamaian
Saat di Bandung, ia bertemu dengan banyak orang yang level pemahaman ekstremnya lebih kuat. Walhasil ia masuk lebih jauh ke dalam jaringan ekstremisme kekerasan, hingga bersama kelompoknya merakit bom untuk persiapan tempur. Beruntung sebelum bom rakitannya digunakan untuk beraksi, ia ditangkap dan harus menjalani hukuman penjara.
Saat berada di Lapas, Kurnia awalnya tidak berkenan menunaikan shalat jamaah bersama orang-orang di luar kelompoknya, tak ramah dengan petugas Lapas, menolak ustaz-ustaz selain kelompoknya. Namun seiring waktu, Kurnia mulai berinteraksi dengan petugas lapas dan ustaz-ustaz dari luar Lapas yang datang untuk memberikan pengajian. Ia justru tidak menemukan kezaliman dalam diri mereka sebagaimana dituduhkan kelompoknya.
Baca juga Jalan Hidup Mantan Ekstremis
Dari situ, pemahaman ekstremnya mulai meluntur. Ia lantas mengkaji ulang pemikirannya yang dulu. Hasilnya, ia tak mudah memandang orang lain sebagai kafir, karena memahami bahwa perbedaan-perbedaan yang ada merupakan sunnatullah. “Saya belajar bahwa kita tidak boleh mengafirkan orang lain. Jika sudah mulai mengafirkan orang lain, maka kita bisa saja terjebak dalam paham khawarij,” katanya.
Ia pun mengakui bahwa kisah-kisah pemaafan para korban kepada pelakunya, semakin menguatkan komitmennya kembali ke jalan perdamaian. Ia begitu takjub dengan ketulusan hati dan kebesaran jiwa korban. Tak pernah terbayangkan, bagaimana bila hal itu terjadi kepadanya.
Baca juga Ekstremisme dan Filosofi Sandal
“Saya mengalami perubahan secara drastis setelah bertemu dengan beberapa korban bom. Meskipun mengalami dampak luka yang berat, tetapi mereka justru memaafkan apa (peristiwa terorisme; red) yang sebenarnya tidak berhubungan langsung dengan saya,” ujarnya.
Ia juga merevisi pemahamannya dulu yang meyakini Indonesia sebagai darul kufr (negara kafir). Jika mengkaji sejarah, menurut Kurnia, Indonesia bukanlah darul harbi (wilayah konflik), tetapi darus salam (wilayah damai). Terlebih kedatangan Islam ke Indonesia tidak disebarkan dengan jalan pedang atau peperangan. Namun melalui jalan dakwah yang damai, yang menghargai kemajemukan masyarakat Indonesia.
Baca juga Rindu Ibu, Ekstremisme Luruh (Bag. 1)
“Negara ini meskipun bukan negara Islam, tetapi bukan juga negara kafir. Akan tetapi dikenal dengan darul ‘ahdi was syahadah, yaitu negara yang didirikan atas konsensus bersama,” ujar Kurnia dalam salah satu kegiatan AIDA.
Lebih jauh menurut Kurnia, pandangan yang menyudutkan Islam sebagai agama kekerasan tidaklah benar. Pandangan itu muncul akibat ulah kelompok ekstrem yang tidak mampu memahami Islam dengan benar. Akibatnya banyak persepsi salah dari sebagian pihak yang menganggap Islam sebagai agama kekerasan.
Berbeda dengan dulu, saat ini ia aktif menyuarakan perdamaian bagi masyarakat luas di Indonesia. Harapannya tidak ada lagi masyarakat yang menjadi pelaku kekerasan sekaligus tak ada lagi yang menjadi korban.