Berdamai dengan Masa Lalu
Aliansi Indonesia Damai – Legit dan pahit ibarat dua sisi mata uang dalam kehidupan dunia. Lika-liku ikhtiar menghadapi kepahitan layak dikisahkan kepada khalayak luas sebagai pembelajaran. Kisah ketangguhan penyintas terorisme mengajak kita untuk berdamai dengan masa lalu demi melanjutkan hidup dengan sikap optimis.
Salah seorang korban tidak langsung bom Bali I, Ni Wayan Rasni Susanti tak pernah menyangka akan kehilangan sosok terkasihnya secepat itu. Suaminya, I Made Sujano, meninggal dunia dalam serangan bom di Legian, Kuta, Bali pada 12 Oktober 2002 silam. Made meninggalkan Rasni dan ketiga anaknya yang masih kecil.
Baca juga Kala Penyintas Bom Memerjuangkan Hak Asuh
Praktis Rasni menjadi orang tua tunggal. Tentu tak mudah. Apalagi ketiga buah hatinya masih belum percaya sang ayah meninggal dunia. Pascakejadian itu, ketiga anaknya menunjukkan perubahan sikap drastis. Mereka yang mulanya periang berubah menjadi pemarah dan selalu terlihat sedih. Kendati begitu, Rasni tak pernah menyerah meyakinkan anaknya untuk menerima keadaan.
Perasaan sedih dan takut acapkali mendatangi Rasni, terutama menyangkut kebutuhan hidup dan masa depan keluarganya. Meski begitu, Rasni selalu teringat pesan mendiang suami untuk terus berjuang demi pendidikan anak-anaknya. “Saya selalu ingat harapan mendiang suami untuk menyekolahkan ketiga anak kami sampai pendidikan tinggi,” ujar Rasni dalam salah satu kegiatan AIDA.
Baca juga Bangkit Karena Rasa Tanggung Jawab (Bagian I)
Motivasi itu membangkitkan semangat Rasni. Ia mendatangi sejumlah tempat untuk melamar pekerjaan. Sayang, tak satu pun pekerjaan ia dapatkan. Namun Rasni tak menyerah. Ia lantas berjualan pakaian keliling. Pendapatannya mencukupi kebutuhan diri dan anak-anaknya. Rasni tak ingin masa lalu menghancurkan keluarganya, sebaliknya menjadi pembelajaran berharga untuk menguatkannya.

Berdamai dengan masa lalu juga menjadi kunci kebangkitan Sarbini, penyintas Bom Kuningan 2004. Meski bertubi-tubi dilanda musibah, namun pada akhirnya Sarbini mampu bangkit dan membangun kehidupan baru untuk masa depan keluarganya.
Baca juga Bangkit Karena Rasa Tanggung Jawab (Bagian II)
Ledakan bom itu nyaris merenggut nyawa Sarbini. Ia terluka parah di bagian kepala dan harus dioperasi sebanyak 50 jahitan. Butuh waktu sekitar tujuh tahun untuk proses penyembuhannya. Tidak hanya luka, Sarbini juga mengalami trauma. Selama bertahun-tahun ia berdiam di rumahnya di kawasan Tangerang Selatan. Ia tak berani ke Jakarta lantaran masih terbayang-bayang ledakan dahsyat itu.
Tak hanya secara fisik dan psikis, ekonominya juga terpuruk. Ia kehilangan pekerjaan, termasuk sebagian harta bendanya. Bertahun-tahun ia harus menanggung sendiri sebagian biaya pengobatannya. Ia pun menjual rumah warisan milik istrinya.
Musibah demi musibah pada akhirnya menjadikan Sarbini pribadi yang kuat. Selain sabar dan tawakal, ia mengaku telah menerima musibah itu dengan ikhlas. Sarbini lalu membuka bengkel las. Betul-betul dari nol. Ia mencari pelanggan dengan cara ‘jemput bola’, dari tetangga sampai ke teman-temannya.
Baca juga 18 Tahun Bom Bali: Cinta untuk Mereka yang Tiada (Bag. I)
Berkat kegigihan Sarbini, bengkel itu bertahan sampai sekarang. Sejak tahun 2018, Sarbini juga mengembangkan usahanya dengan membuka kedai untuk berjualan makanan ringan. Semua itu dia lakukan sebagai bentuk tanggung jawab kepala keluarga.
Bagi Sarbini, kunci kebangkitannya adalah keikhlasan dan tekat yang kuat untuk berdamai dengan masa lalu. Kisah pahit masa lalu mungkin telah menjadi bagian dari kehidupannya. Walakin, masa lalu tak harus menawannya.
Baca juga 18 Tahun Bom Bali: Cinta untuk Mereka yang Tiada (Bag. II-Terakhir)