Penyintas Bom Thamrin Melawan Trauma (Bag. 2-Terakhir)
Aliansi Indonesia Damai- Sulit bagi Andi Dina Noviana menerima perubahan dalam hidupnya. Selain tak percaya diri dengan kondisi fisiknya yang tak lagi normal, ia juga terus menerus menyalahkan dirinya. Seharusnya di saat kejadian ia tak berada di tempat itu.
Situasi tersebut membuatnya depresi. Setiap hendak memejamkan mata, perasaan-perasaan itu datang dan menyiksanya. Psikolog dan psikiater tak memberi banyak pengaruh terhadap kesembuhannya. Selama 8 bulan ia harus mengonsumsi obat penenang. Trauma bahkan membuatnya harus resign dari pekerjaannya karena tak berani melintas di Jalan MH Thamrin.
Baca juga Penyintas Bom Thamrin Melawan Trauma (Bag. 1)
Dina menyimpan dendam, marah, dan sakit hati terhadap pelaku pengeboman. “Apa salah saya? Saya bahkan nggak kenal sama mereka. Dalam kondisi kejadian saya merasa sedang bekerja,” kata Dina.
Pada suatu waktu, Dina merasa harus melepaskan perasaan-perasaan yang membelenggu dirinya. Ia merenungi yang telah terjadi dan berusaha mengikhlaskan. Ia berupaya berdamai dengan dirinya.
Baca juga Kebangkitan dan Ikhtiar Memaafkan
“Dulu saya selalu menyalahkan diri saya kenapa saya harus ke sana. Kenapa di kafe itu. Kenapa harus jam segitu. Kenapa nggak langsung ke kantor. Saya fight sama diri sendiri, berantem sama diri sendiri. Saya lalu mencoba memaafkan dan berdamai dengan diri sendiri,” ujarnya.
Setelah mampu berdamai dengan dirinya, perlahan Dina membuka hatinya untuk bisa memaafkan pelaku pengeboman. Tentu Dina melalui proses yang sulit. “Bagaimana memaafkan seseorang yang dengan sengaja melukai saya dan korban-korban yang lain. Bagaimana saya memaafkan pelaku yang sudah mengubah hidup saya dan teman-teman yang lain, hingga kehilangan nyawa, kehilangan kepercayan diri, kehilangan pekerjaan, dan masa depan,” kata Dina.
Baca juga Asa Perempuan Tangguh Setelah 5 Tahun Bom Thamrin
Meski berat, Dina mencoba terus berdialog dengan dirinya sendiri sampai pada tahap ia mampu bangkit, menerima kondisinya, dan memaafkan para perlaku. Dalam pengalamannya, ikhlas dan maaf adalah obat yang paling manjur. Terapi medis dan konseling psikis hanya sebagai pelengkap dan pendukung. Intinya adalah hati dan pikiran sendiri.
Setelah memaafkan, perasaannya menjadi lebih tenang. Ia mulai bisa menjalani hari-harinya seperti biasa. “Luka fisik bisa hilang dalam tempo 1-2 bulan. Namun sakit hati itu rasanya membuat saya nggak mau hidup lagi. Saya minder apa lingkungan saya mau menerima saya dengan kondisi begini, apakah teman-teman saya mau menerima saya. Begitu saya ikhlaskan, semua terasa ringan,” katanya.
Baca juga Menyalakan Semangat Kebangkitan
Dina mengaku sempat dipertemukan dengan orang tua dari pelaku Bom Thamrin beberapa waktu lalu. Saat itu ia justru menangis dan meminta maaf. “Saya tidak marah, yang harus dilakukan adalah mendokan almarhum. Kan pelakunya sudah mati. Terlepas mereka meminta maaf, saya meminta maaf karena sempat membenci,” katanya.
Dina mencoba untuk terus bersyukur karena telah diberikan kesempatan untuk bisa hidup bersama keluarganya, kembali beraktivitas, dan bekerja dengan baik. Ia ingin mensyukuri setiap detak jantung dan hembusan nafas yang dianugerahkan Allah.
Baca juga Dampak Berlipat Korban Terorisme
Andaikata suatu saat ia dipertemukan dengan teroris, “terima kasih” adalah kalimat yang ingin diucapkannya. Musibah itu itu telah membuatnya semakin kuat dan bisa mensyukuri setiap detik kehidupan. Baginya, manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi satu atau dua detik berikutnya.
Kondisi fisiknya tak lagi normal, sisa-sisa trauma masih bersemayam dalam jiwanya, namun Dina memilih berdamai dan mengikhlaskan. Ia tetap akan berjuang menyembuhkan trauma dalam dirinya. “Trauma bukan salah saya, tapi untuk sembuh dari trauma adalah tanggung jawab saya,” katanya sembari tersenyum.
Baca juga Berbagi Cerita Melawan Trauma