Mewarnai yang Muda
Di sini damai, di sana damai, di mana-mana hatiku damai. Di sini damai, di sana damai, di mana-mana hatiku damai.
Sepenggal lirik di atas dinyanyikan oleh sekelompok anak muda dalam kegiatan kampanye perdamaian yang digelar oleh Aliansi Indonesia Damai (AIDA). Lagu tersebut diadopsi dari lagu masa kecil yang cukup familiar di telinga kita, yaitu ‘di sini senang di sana senang’. Liriknya diganti dengan kata ‘damai’ agar anak-anak muda meresapi spirit perdamaian dan berkomitmen mewujudkannya di mana pun berada.
Generasi muda adalah kelompok rentan. Dikatakan rentan karena berada dalam fase mencari jati diri, kepolosannya masih mudah diwarnai. Jika diwarnai dengan tinta kekerasan, maka jadilah pelaku kekerasan. Sebaliknya jika diwarnai dengan tinta perdamaian, maka dapat menjadi duta perdamaian. Faktor eksternal sangat berpengaruh dalam pembentukan karakter mereka.
Baca juga Meneladani Kesabaran Ramdhani
Berbagai aksi kekerasan cukup sering melibatkan generasi muda, mulai dari tawuran, pembunuhan, pembegalan, hingga –pada tahap paling ekstrem– terorisme. Aksi-aksi kekerasan itu tak jarang dilakukan sekadar sebagai ajang pembuktian diri, bahwa mereka menjaga solidaritas pertemanan dan – dalam kasus terorisme – memiliki idealisme yang tinggi.
Pada era murah digital, generasi muda kian rentan. Dalam kasus terorisme, media sosial digunakan oleh kelompok ektremis untuk menyebarkan paham-paham kekerasan. Konten yang sering disebar seperti soal ketidakadilan yang terjadi di Timur Tengah. Propagandakan yang lantas digencarkan adalah membalas ketidakadilan itu dengan aksi-aksi kekerasan.
Generasi muda lebih disukai untuk dijadikan target, selain karena mudah dipengaruhi, juga memiliki potensi cemerlang. Generasi muda adalah pembelajar terbaik. Mereka sangat cepat dalam menyerap pelajaran dan militan dalam bergerak. Tidak salah jika Ir. Soekarno, dalam salah satu pidatonya mengatakan, “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia”.
Baca juga Jihad dan Budaya Dialog
Maka dapat dibayangkan apa yang terjadi jika generasi muda jatuh ke tangan kelompok kekerasan. Hampir dapat dipastikan tidak akan masa depan untuk bangsa ini. Sebab, dalam 10-20 tahun ke depan, mereka akan memimpin bangsa ini. Suatu bangsa akan rusak jika dipimpin oleh generasi yang prokekerasan.
Perdamaian adalah kebutuhan dasar manusia. Ibarat rumah, maka perdamaian adalah pondasi. Tanpa perdamaian, rumah akan terkoyak, penghuninya tidak bisa beraktivitas normal. Ayah tidak bisa keluar mencari nafkah, anak tidak bisa pergi ke sekolah, . Kekerasan merebak di mana-mana. Setiap harinya hidup dilanda oleh ketakutan yang mencekam; “Apakah jika hari ini keluar rumah, saya bisa tetap hidup?”.
Baca juga Menjaga Kerukunan Bersama
Oleh karenanya, semakin banyak generasi muda yang melestarikan perdamaian, semakin dekat harapan untuk hidup yang lebih baik. Generasi muda bisa belajar dari sosok Malala Yousafzai misalnya, seorang gadis yang menjadi aktivis perdamaian di negaranya, Pakistan. Di tengah perang yang terus berkecamuk, ia menyuarakan pentingnya perdamaian. Sehingga ia dan anak-anak muda lainnya dapat mengenyam pendidikan secara layak.
Malala meyakini bahwa pendidikan dapat mengubah masa depan bangsanya menjadi maju dan beradab. Ia terus berjuang meskipun nyawa menjadi taruhan. Tidak banyak pemuda yang berani seperti Malala. Ia tumbuh menjadi bunga yang mekar di tengah medan pertempuran.
Jika memang tidak bisa menjadi aktivis perdamaian seperti dirinya, setidaknya generasi muda tidak terlibat dalam aksi-aksi kekerasan. Dengan begitu mereka telah berkontribusi membawa masa depan bangsa menuju peradaban damai.