Kesetiaan Istri Korban Bom

Aliansi Indonesia Damai- Ledakan bom di depan kantor Kedutaan Besar Australia tahun 2004 masih menyisakan luka menganga bagi para korban dan keluarganya. Di tengah segala keterbatasan, beberapa orang begitu setia mendampingi orang-orang tercinta menjalani masa kritis secara tulus. Sejumlah perempuan bahkan enggan menikah lagi selepas kepergian suaminya. Wartini adalah salah satunya. Ia rela meninggalkan pekerjaan demi merawat suami hingga ajal menjemputnya.

Syahromi, suami Wartini, meninggal usai 2 tahun menjalani perawatan akibat terkena ledakan Bom Kuningan. Keduanya menikah pada tahun 1987. Dalam kesederhanaan, mereka tetap bisa hidup bahagia. Sebelum bekerja sebagai petugas keamanan di kantor Kedutaan Negeri Kanguru, Syahromi sempat bergonta-ganti pekerjaan untuk mencukupi kebutuhan keluarga. Sementara Wartini menjual makanan untuk membantu menopang perekonomian keluarga.

Baca juga Korban Bom Kuningan: Pulih berkat Keluarga

9 Septembe pagi, seperti biasa Wartini menggelar lapak dagangannya di depan rumah. Sekitar pukul 10.30 WIB, seorang tetangga menghampiri untuk menanyakan apakah Syahromi berangkat kerja. Tetangganya mengabarkan bahwa telah terjadi ledakan di depan kantor Kedubes Australia. Sontak Wartini segera meninggalkan dagangannya dan bergegas pergi.

Saat tiba di depan kantor suaminya bekerja, ia mendapatkan kabar bahwa suaminya sudah dievakuasi ke Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC). Ia menjumpai suaminya terbaring lemah. Sapaan Wartini tak menuai respons. Syahromi malah mengisyaratkan Wartini untuk mengambil alat tulis. Wartini tersentak ketika suaminya menulis kalimat bahwa ia tak bisa mendengar. Dari hasil pemeriksaan, Syahromi mengalami kerusakan parah di gendang telinga.

Baca juga Mengambil Hikmah dari Musibah

Kondisi itu membuat Syahromi merasa putus asa. Wartini berupaya terus mendukung dan selalu ada buatnya. Ia bahkan memutuskan untuk tidak lagi berdagang demi merawat suaminya. “Kalau bapak merasakan sakit, biasanya sampai menangis. Kadang sampai teriak, suka marah saking menahan sakit,” ungkap Wartini dalam salah satu kegiatan bersama AIDA.

Usai kondisi fisiknya agak membaik, Syahromi kembali bekerja meski harus tetap rutin cek medis. Namun kondisi fisiknya terus merosot hingga pada 19 November 2006, Syahromi menghembuskan nafas terakhir di Rumah Sakit Abdi Waluyo. Kehilangan itu memukul perasaan Wartini. Terlebih saat itu Wartini mengandung anak ketiga yang menginjak usia 6 bulan kehamilan. Bukan hanya kehilangan yang menyayat hati, tetapi juga beban berat untuk menghidupi anak-anaknya karena secara otomatis berpindah ke pundak Wartini.

Baca juga Menghentikan Dendam Buah Hati

Wartini harus memikirkan nasib anak-anaknya yang akan tumbuh tanpa sosok ayah. Tentu ada ledakan amarah dalam dirinya terhadap pelaku pengeboman yang membuatnya menderita. Namun lambat laun ia menerima kejadian itu sebagai takdir yang harus diterima. “Saya pernah sakit hati dan dendam juga, tapi itu semua tidak akan mengembalikan suami saya. Saya sempat putus asa dan ingin mati saja. Tapi saya pikir lagi, kalau saya ga ada, anak-anak hidup sama siapa,” tuturnya.

Hingga kini Wartini bekerja serabutan demi menghidupi anak-anaknya. Segala kesusahan membuatnya semakin tangguh. Tak hanya setia terhadap suaminya, Wartini adalah “sumber” kehidupan bagi anak-anaknya.

Baca juga Mengalah Tak Berarti Kalah

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *