12/05/2020

Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 5)

Kehilangan sosok-sosok terkasih, terlebih yang menjadi “separuh nafas”, memang sangat menyesakkan. Apalagi akibat peristiwa terorisme, yang tentu sama sekali tak ternyana. Luka psikis yang ditimbulkan setara dengan cedera fisik parah.

Para penyintas terorisme dari lintas negara berikut berhasil sembuh dari cedera fisiknya dan atau trauma psikisnya, kendati sebagian harus mengalami disabilitas. Apa pun kondisinya, mereka menolak takluk.

Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 1)

Redaksi menerjemahkan dan menyarikan kisah dua puluh orang penyintas terorisme dari situs Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Cerita ketangguhan dan kebangkitan mereka akan tersaji secara berseri.

Munir Abdul Gadel (Libia)

Pada Januari 2016, bersama istri dan ketiga anaknya, Munir meninggalkan rumahnya di Ras Lanuf untuk mengunjungi kerabat di daerah sebelah, Aqila. Ketika hendak Kembali ke Ras Lanuf, mereka berhenti di pos pemeriksaan.

Tiba-tiba bom meledak. Banyak tentara penjaga gerbang langsung terkapar. Munir, istri, dan kedua anaknya, Rimas dan Rowan, mengalami cedera parah, termasuk luka bakar. Sementara anak ketiganya yang masih bayi, Mohammed, meninggal dunia. Setelah menjalani beberapa operasi medis, Munir dan keluarganya berhasil sembuh.

Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 2)

Dukungan dari keluarga besar membantu Munir melewati bencana tersebut. Ia didorong untuk tetap tangguh dalam menghadapi setiap kondisi buruk. Keluarga selalu menjadi ikatan yang kuat baginya. Kini Tuhan telah memberinya seorang anak lagi, yang juga diberi nama Muhammad, untuk mengenang saudaranya yang meninggal secara tidak adil.

Hawa Cisse (Mali)

Kini umurnya menginjak 21 tahun dan sedang menempuh pendidikan SMA. Ia berasal dari Timbuktu, Mali. Ketika berusia 14 tahun, tepatnya pada Juni 2012, Hawa mengalami hal yang sangat kelam. Ia diculik dan dibawa oleh kelompok bersenjata yang menduduki Kota Timbuktu menuju lokasi yang tak diketahuinya. Di tempat itulah ia dilecehkan secara seksual sebelum kemudian dibebaskan.

Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 3)

Hawa mengaku menjadi tangguh berkat bimbingan dan dukungan moral dari orang tuanya. Keduanya tak henti memberinya secercah harapan sejak saat itu. Ia juga menghaturkan terima kasih kepada l’Association des Victimes de la répression des mouvements armés (ADVERMA) yang juga terus mendukungnya.

Falmata Bunu (Nigeria)

Hidupnya di Kota Monguno, timur laut Nigeria, terasa tenang dan damai. Ia tinggal di rumah kecilnya bersama keluarga. Namun semuanya hancur ketika desanya diserang oleh kelompok bersenjata pada Minggu pagi, 25 Januari 2015. Falmata dijadikan tawanan. Selama 15 bulan masa penyekapan, ia dipaksa untuk menikah sebanyak 3 kali.

Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 4)

Ia berulangkali berupaya kabur, tetapi selalu gagal. Beruntung usahanya melarikan diri sukses sebelum kelompok teror merencanakan untuk mengirimnya dalam misi bunuh diri. Setelah dua hari di hutan, ia tiba di barak tentara di Monguno dan bertemu dengan keluarganya.

Falmata dan keluarganya tinggal di penampungan. Namun karena dianggap sebagai mantan “istri” pasukan kelompok bersenjata, Falmata merasakan ketidaknyamanan. Ia merasa tertekan dan memilih menahan diri.

Baca juga Tafakur Menyembuhkan Lukanya

Ia lantas berpartisipasi dalam jaringan dukungan untuk perempuan yang selamat dari penawanan. Hal tersebut membantunya mengatasi ketakutan dan memberanikannya untuk menuturkan kisah hidupnya. Ia berteman dengan para perempuan yang senasib dengannya untuk saling mendukung agar menjadi tangguh.

Antonio Miguel Utrera Blanco (Spanyol)

Antonio masih berstatus mahasiswa berusia 18 tahun ketika Kota Madrid “terbangun” di tengah kekacauan. 11 Maret 2004, bom meledak di empat kereta komuter. 192 orang tak bersalah meninggal dunia dan hampir 2.000 orang cedera. Ia adalah salah satu korban luka. Di sisi lain kota, teman karibnya, Angélica González, yang juga sedang melakukan perjalanan dengan kereta komuter, menjadi salah satu korban jiwa.

Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 1)

Antonio meninggalkan kereta seperti seorang yang berjalan sambil tidur. Sejak saat itu, masa-masa ketidakpastian muncul. Konsekuensi fisik dari serangan tersebut sangat parah: hemiplegia melumpuhkan bagian kiri tubuhnya dan telinga kanannya kehilangan pendengaran. 

Menyadari ketidakmungkinan untuk kembali ke universitas dalam waktu dekat, buku menjadi teman terbaik baginya. Kebiasaan membaca -yang biasanya dilakukan bersama Angélica- berubah menjadi sebuah obat atas ketiadaannya. Buku memberikan jalan baginya untuk menceritakan kepada mereka yang hidup dalam kebencian, bahwa mereka tidak dapat dan tak akan mampu untuk menjatuhkannya. (bersambung)

Sumber 1 Klik Disini

Sumber 2 Klik Disini

Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 2-Terakhir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *