Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 1)
Aliansi Indonesia Damai- Sebagian dari mereka pernah berada dalam titik terdekat dengan ajal kematian. Namun seperti difirmankan Allah Swt, ajal manusia memang tidak bisa diundurkan atau sebaliknya dimajukan, barang sejengkal. Beberapa lainnya harus kehilangan sosok-sosok terkasih; “separuh nafasnya”.
Para penyintas terorisme dari lintas negara berikut berhasil sembuh dari cedera fisiknya dan atau trauma psikisnya, kendati sebagian harus mengalami disabilitas. Apa pun kondisinya, mereka menolak takluk.
Baca juga Tafakur Menyembuhkan Lukanya
Redaksi menerjemahkan dan menyarikan kisah dua puluh orang penyintas terorisme dari situs Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Cerita ketangguhan dan kebangkitan mereka akan tersaji secara berseri.
Ahmad Fahim (Afghanistan)
Ia, keluarga, dan koleganya sedang menikmati teh di Hotel Intercontinental Kabul ketika serangan bom menyasar hotel tersebut, pada 20 Januari 2018. Fahim bersyukur karena dirinya dan keluarganya selamat, meskipun mengalami luka.
Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 1)
Musibah itu memang meninggalkan dampak cukup negatif baginya dan keluarga. Namun kemudian kian menguatkan tekadnya untuk berbicara mewakili para korban kekerasan di Afghanistan. Ia merasa bahwa pekerjaan masa lalunya di Afghanistan Independent Human Rights Commission (AIHRC) dan aktivitasnya sebagai advokat masyarakat sipil telah memungkinkannya untuk berbicara pada platform yang lebih luas tentang hak-hak korban.
Sejak 2013, Fahim telah membantu mengidentifikasi para korban kejahatan perang dan kejahatan kemanusiaan di Afghanistan sehingga memiliki rasa belas kasih yang mendalam terhadap mereka. Tetapi serangan yang menimpanya kian mendorong Fahim untuk bertindak lebih.
Abatlia Renia (Aljazair)
Putrinya, Leila, dan putranya, Med Redha, meninggal karena serangan teroris pada 1996. Dia sendiri mengalami cedera. 23 tahun pascaperistiwa, kenangan akan kesedihan itu menghinggapi Renia.
Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 2-Terakhir)
Pasalnya, anaknya yang lain, Cherifa, mendirikan Djazairouna, organisasi non pemerintah yang bekerja untuk meningkatkan kepekaan terhadap dampak terorisme dan menyediakan dukungan untuk para korban terorisme. Kenangan tentang Leila dan Redha seolah hidup dalam pekerjaan Cherifa.
Adelaide Stratton (Australia)
Di usianya yang baru menginjak 22 tahun, Adelaide gemar menikmati petualangan ke seluruh dunia. Malam itu ia sedang berjalan menyusuri Promenade des Anglais di Nice, Perancis. Ia baru saja menyaksikan pertunjukan kembang api yang cantik, ketika truk seberat 19 ton menabrak tubuhnya. Ia meraih tangan orang lain untuk menahan badannya agar tidak tersungkur ke tanah.
Baca juga Penyintas Bom Kuningan Berjuang Melawan Trauma
Peristiwa yang terjadi pada 14 Juli 2014 tersebut mengubah hidupnya. Ia harus terus-menerus menanggung luka fisik dan mental. Namun ketangguhan datang dari pola pikirnya. Ia memang mengalami tragedi kemanusiaan yang paling buruk, namun menyaksikan aksi heroik Patrick Sergent, orang tak dikenal, tetapi sekarang menjadi orang penting dalam hidupnya.
Ia merasa lebih tangguh dan berhasil melewati hari-hari berat karena memiliki pola pikir positif. Betapa beruntung dirinya yang telah selamat dan betapa banyak (jalan) yang telah dilalui. Kisah dan pola pikirnya adalah tentang cinta dan kasih sayang untuk orang lain yang masih terus hidup bahkan dalam hari-hari tergelap sekali pun. (bersambung)
Sumber 1 Klik Disini
Sumber 2 Klik Disini
Baca juga Sempat Diduga Pengebom, Keluarga Korban Bangkit dari Kesedihan