11/05/2020

Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 3)

Sebagian dari mereka pernah berada dalam titik terdekat dengan ajal kematian. Namun seperti difirmankan Allah Swt, ajal manusia memang tidak bisa diundurkan atau sebaliknya dimajukan, barang sejengkal. Beberapa lainnya harus kehilangan sosok-sosok terkasih; “separuh nafasnya”.

Para penyintas terorisme dari lintas negara berikut berhasil sembuh dari cedera fisiknya dan atau trauma psikisnya, kendati sebagian harus mengalami disabilitas. Apa pun kondisinya, mereka menolak takluk.

Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 1)

Redaksi menerjemahkan dan menyarikan kisah dua puluh orang penyintas terorisme dari situs Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Cerita ketangguhan dan kebangkitan mereka akan tersaji secara berseri.

Astrid Passin (Jerman)

Astrid kehilangan ayah akibat teror yang menyasar Pasar Natal di Breitscheidplatz, Berlin, Jerman, pada 19 Desember 2016. Putrinya yang berusia 11 tahun juga harus kehilangan sosok kakek. Sebelas orang lainnya meninggal dalam peristiwa itu.

Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 2)

Astrid adalah penari Flamenco dan Tango. Namun tragedi kemanusiaan itu seolah menghilangkan kemampuannya. Padahal menari adalah energi hidupnya untuk memerjuangkan keadilan dan kebenaran.

Setelah mampu berbicara mewakili semua keluarga yang telah kehilangan orang-orang terkasihnya pada hari itu, Astrid merasa lebih bersemangat dan memiliki harapan. Ia pun berupaya menari lagi. Ulang tahun almarhum ayahnya jatuh pada tanggal 21 Agustus –hari yang dipilih oleh PBB untuk peringatan korban terorisme. Ia melihat hal itu sebagai pertanda (positif).

Sudirman Talib (Indonesia)

Sudirman berhasil selamat dari serangan bom yang menyasar kantor Kedutaan Besar Australia di Jakarta, di mana ia bekerja sebagai petugas keamanan. Bom meledak 10 meter dari tempatnya berjaga dan melemparkan badannya sejauh 5 meter. Dalam ingatannya, saat itu semua menjadi gelap dan ketika sadar tubuhnya tidak dapat digerakkan.

Baca juga Tafakur Menyembuhkan Lukanya

Ia merasa ketakutan dan berpikir ajalnya telah dekat. Sudirman dirawat di rumah sakit selama sekitar 5 bulan dan menjalani 10 macam operasi berbeda. Mata kirinya hilang, jari-jari tangannya rusak, serta kerusakan saraf berkelanjutan di kepalanya. Kejadian itu menjadi momentum paling traumatis dan tersulit yang pernah dilaluinya. Hingga kini ia harus mengonsumi 5 jenis obat berbeda setiap harinya.

Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 1)

Sejak 2013, Sudirman aktif berkampanye untuk perdamaian di Indonesia, mengunjungi sekolah-sekolah dan Lapas untuk meningkatkan kepekaan terhadap dampak terorisme. Ia melakukan itu semua berkat dukungan hebat dari keluarganya. Dorongan keluarga terus membuatnya kuat. Sebagai balasannya, Sudirman akan mendukung mereka juga.

Husham Sabah Kamil (Irak)

Pada 3 Juli 2016 malam, ia kehilangan 6 orang saudara sepupunya sekaligus. Teman-temannya juga banyak yang meninggal dunia akibat serangan bom besar yang meledak di Karada, Baghdad. Husham, dua kakak laki-laki, dan ayahnya terluka parah.

Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 2-Terakhir)

Saat itu adalah malam terakhir bulan Ramadan. Jalanan di jantung Baghdad sangatlah ramai. Suasana ceria terlihat karena setiap orang sedang menyiapkan perayaan Idul Fitri. Namun semuanya buyar akibat serangan mematikan tersebut.

Istrinya menjadi sumber ketangguhan. Dalam masa pemulihan, sang istri terus memberikan dukungan. Baginya, perempuan itu adalah sumber kekuatan yang selalu ada di sisinya. (bersambung)

Sumber 1 Klik Disini

Sumber 2 Klik Disini

Baca juga Penyintas Bom Kuningan Berjuang Melawan Trauma

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *