11/05/2020

Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 4)

Kehilangan sosok-sosok terkasih, terlebih yang menjadi “separuh nafas”, memang sangat menyesakkan. Apalagi akibat peristiwa terorisme, yang tentu sama sekali tak ternyana. Luka psikis yang ditimbulkan setara dengan cedera fisik parah.

Para penyintas terorisme dari lintas negara berikut berhasil sembuh dari cedera fisiknya dan atau trauma psikisnya, kendati sebagian harus mengalami disabilitas. Apa pun kondisinya, mereka menolak takluk.

Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 1)

Redaksi menerjemahkan dan menyarikan kisah dua puluh orang penyintas terorisme dari situs Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Cerita ketangguhan dan kebangkitan mereka akan tersaji secara berseri.

Sarah Tikolo (Kenya)

Kelompok teror menyerang kantor Kedutaan Besar Amerika Serikat di Nairobi, Kenya, pada 7 Agustus 1998. Aksi itu merenggut nyawa suami Sarah. Dirinya yang masih berusia 20 tahun harus menyandang status janda, sementara anaknya yang masih 4 bulan menjadi yatim. Kala itu ia tak mampu berpikir bagaimana akan hidup sebagai pengangguran.

Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 2)

Sarah mengalami keterpurukan akibat kehilangan suami dengan cara yang sangat menyakitkan. Foto jasad suaminya yang hancur terus melekat dalam memorinya. Ia berjuang membesarkan anak tanpa sosok ayah.

Selama 22 tahun terakhir, Sarah hidup dengan rasa sakit dan kepahitan. Namun ia memilih untuk memaafkan demi menyingkirkan segala kepahitan dan kemarahan, serta melanjutkan hidupnya.

Abir ElZoghbi (Libanon)

Pada tahun 2014, putranya yang berumur 14 tahun ditembak mati oleh kelompok teroris di Tripoli, Libia. Abir sempat terpuruk karena peristiwa itu dan lebih banyak mengurung diri. Namun atas dukungan dari Asosiasi Korban Terorisme Lebanon, Abir mengikuti kegiatan dalam kelompok terapi sejak tahun 2017. Dalam sesi terapi, ia banyak bertutur tentang kisahnya. Dari situlah ia mulai “bernafas” kembali dan lukanya sembuh.

Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 3)

Kini Abir mencoba untuk menceritakan kisahnya ke khalayak luas, termasuk di sekolah-sekolah, di mana ia sangat menganjurkan perawatan psikologis bagi para korban terorisme.

Amaury dan Andrew Razafitrimo (Madagaskar)

Keduanya kehilangan ibu akibat aksi teror di Promenade des Anglais di Nice, Perancis, 14 Juli 2016. Kakak beradik ini sedang menyaksikan pesta kembang api bersama dengan ibu, kerabat, dan tetangganya saat serangan terjadi. Mereka melihat ibunya yang bernama Mino dan tetangganya, Yanis, terbunuh. Padahal ibunya –yang menyandang gelar Master bidang administrasi ekonomi dan sosial— baru saja mendapatkan pekerjaan tetap pertamanya di Nice.

Baca juga Tafakur Menyembuhkan Lukanya

Mino dalam bahasa Malagasi berarti keyakinan. Nama tersebut memberikan banyak harapan dan menggambarkan keinginan keluarga untuk terus maju setiap hari. Meskipun kepergian Mino begitu menyakitkan bagi Amaury dan Andrew, keduanya sangat bangga kepadanya. Perasaan yang memunculkan kebanggaan kepada diri mereka. Cintanya kepada sosok ibu membuat mereka menjadi tangguh.

Fatima Ali Haider (Pakistan)

Hingga 18 Februari 2013, hari di mana Fatima kehilangan suami dan putranya akibat serangan teroris, ia adalah ibu dari 3 anak yang mengagumkan dan figur istri bahagia dari dokter spesialis bedah mata terkenal di Pakistan. Peristiwa menyakitkan itu mengubah banyak hal dalam hidupnya.

Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 1)

Fatima berhasil bangkit melawan isolasi yang diciptakannya sendiri. Pada tahun 2015, ia mendirikan ‘The Grief Directory’; lembaga penghubung kasih sayang bagi para korban terorisme di Pakistan. Lembaga itu memertemukan korban kepada sumber harapan baru, demi Pakistan yang lebih aman dan lebih damai untuk generasai penerus. (bersambung)

Sumber 1 Klik Disini

Sumber 2 Klik Disini

Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 2-Terakhir)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *