Salahuddin al-Ayubi: Panglima Tempur Pencinta Damai
Oleh: Faruq Arjuna Hendroy
Sarjana Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah
Yusuf bin Najmuddin atau lebih dikenal dengan Salahuddin Al-Ayyubi adalah tokoh legendaris dalam penyebaran Islam di daratan Eropa. Ketenarannya meroket usai peristiwa yang dikenal sebagai Perang Salib pada abad pertengahan, masa di mana peperangan seolah kelaziman.
Perang ini bermula saat Paus Urbanus II (1095 M) membakar semangat pasukan Kristen Eropa dan memobilisasi mereka untuk merebut Yerusalem dari tangan kaum muslimin, yang saat itu diwakili oleh Dinasti Saljuk. Ribuan pasukan Salib kemudian bertolak ke Yerusalem untuk berperang atas nama agama.
Baca juga Strategi Jihad Covid-19 (Bag. 1)
Di bawah komando Godfrey de Bouillon, tentara Salib tiba di Yerusalem pada Juli 1099. Mereka langsung bergerak dan berhasil menaklukkannya pada bulan yang sama. Saat itulah mimpi buruk menimpa umat Yahudi dan muslim yang tinggal di Yerusalem.
Guru Besar Studi Islam dan Bahasa Arab Universitas Edinburg, Carole Hillenbrand, mengatakan, sebagaimana dikutip oleh tirto.id, bahwa tentara Salib membantai kaum Yahudi dan kaum muslimin tanpa pandang bulu, bahkan ketika mereka bersembunyi di dalam rumah ibadah masing-masing.
Baca juga Strategi Jihad Covid-19 (Bag. 2-Terakhir)
Kekuasaan tentara Salib berlangsung selama 88 tahun, hingga munculnya sosok Salahuddin Al-Ayyubi yang mendirikan dinasti Ayyubiyah pada tahun 1174 dan berjanji membebaskan Yerusalem, sebab terdapat situs suci umat Islam, Masjid Al-Aqsha.
Pada bulan Juli 1187, Salahuddin memobilisasi pasukannya menuju Yerusalem. Dengan strategi jitu, tepat pada 2 Oktober 1187, Yerusalem akhirnya jatuh ke pangkuan Salahuddin. Proses jatuhnya Yerusalem sangat jauh dari kesan kebiadaban. Hal yang menunjukkan ketinggian akhlak Salahuddin.
Baca juga Momentum Pemenuhan Hak Korban Terorisme
Meskipun mengetahui bahwa tentara Salib yang tersisa di Yerusalem telah berada dalam keadaan lemah, ia tetap mengedepankan opsi penyerahan kota secara damai. Padahal dengan kapasitas militer yang dimiliki, ia bisa saja langsung menyerang.
Pun di saat berlangsungnya pengepungan, Salahuddin masih membuka opsi damai dengan memberikan kesempatan negosiasi kepada pihak lawan. Percakapan yang terjadi saat negosiasi itu berlangsung sangat melegenda, hingga William Monahan dan Ridley Scott memasukkan adegan dialog itu dalam film berjudul Kingdom of Heaven.
Baca juga Mengulik Hikmah Puasa (Bag. 1)
Dalam percakapan tersebut, Salahuddin mengizinkan tentara Salib untuk pergi meninggalkan Yerusalem dengan damai dan bersumpah tidak akan menyakiti satu pun dari mereka. Bahkan, ia memerintahkan pasukannya untuk mengawal tentara Salib.
Salahuddin berkata, “Saya akan memberikan jaminan keamanan tiap nyawa menuju wilayah Kristen. Setiap orang, wanita, anak-anak, orang tua, semua tentara, dan ratumu. Rajamu, aku serahkan padamu dan bagaimana kehendak Tuhan atasnya. Tidak ada yang akan disakiti, aku bersumpah pada Tuhan.”
Baca juga Mengulik Hikmah Puasa (Bag. 2-terakhir)
Balian de Ibelin, pemimpin pengganti Yerusalem menjawab, “Tentara Salib membantai semua orang ketika mereka menaklukkan kota ini.”
Salahuddin menimpali sederhana, “Aku bukan orang yang seperti itu, Aku Salahuddin.” Kemurahan hati yang membuat Balian akhirnya menyerah.
Baca juga Pandemi Covid-19 dan Tafsir Dukhan
Kata-kata itu benar-benar dibuktikannya. Tidak ada satu pun darah yang menetes setelah Salahuddin berhasil menguasai Yerusalem. Tidak ada rumah ibadah yang dihancurkan, dan penganut agama lain tetap diberikan kebebasan untuk berziarah. Ia mengambil jalan perdamaian.
Dari sosok Salahuddin kita belajar sikap tangguh seorang kesatria. Ia mengajarkan untuk tidak membalas kekerasan dengan kekerasan, sekalipun sebenarnya punya kapasitas dan kesempatan untuk melakukan itu. Atas kemurahan hatinya, Salahuddin dihormati oleh kawan maupun lawan. Namanya tetap harum melintasi zaman.
Baca juga Puasa dan Makna Jihad