21/05/2020

Kemenangan Sejati Korban Terorisme

Oleh: Novi
Mahasiswi Program Pascasarjana Universitas Indonesia.

Berbagai serangan terorisme yang terjadi di belahan dunia, termasuk  Indonesia, dilakukan untuk menciptakan ketakutan masyarakat. Serangan tidak bisa diprediksi secara pasti kapan dan di mana akan terjadi. Siapa pun berpotensi menjadi korbannya. Bila tidak menjadi perhatian serius, ancaman terorisme dapat menimbulkan perasaan tidak aman publik serta menyisakan dampak yang berkepanjangan bagi korban yang terdampak dari aksi itu.

Dalam artikel The Bali Bombing: Impact on Indonesia and South Asia yang dipublikasikan Hudson Institute, Arabinda Acharya menyatakan bahwa Asia Tenggara menjadi front kedua dalam jihad global, termasuk di dalamnya adalah Indonesia. Pascaperistiwa 9/11, tercatat sekitar 400 serangan teror terjadi di Indonesia. Ratusan serangan itu telah menimbulkan banyak dampak bagi para korbannya, baik dampak secara fisik, psikis, sosial, dan bahkan ekonomi.

Baca juga Korban Terorisme (Tak) Menunggu Godot

Dampak fisik yang dimaksud adalah banyaknya korban meninggal dan yang mengalami luka-luka, baik korban langsung maupun tidak langsung. Salah satu korban yang terkena dampak fisik dari peristiwa Bom Bali 2 adalah Ni Kadek Ardani yang terkena ledakan bom di Pantai Jimbaran Bali tahun 2005 silam. Ia harus menjalani operasi pengambilan gotri dalam tubuhnya serta luka-luka yang diakibatkan ledakan dahsyat itu.

Tidak hanya fisik, psikis korban juga terdampak akibat serangan tersebut. Di antara luka psikis itu antara lain merasa takut ketika mendengar suara-suara kencang dan trauma ketika melihat orang menggunakan atribut keagamaan. Salah seorang korban yang mengalaminya adalah Nyoman Pasirini. Sampai sekarang ia masih trauma akan letusan kembang api, takut terhadap orang yang menggunakan ransel dan jaket, serta teriakan takbir.

Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. I): Kesadaran tentang Keberagaman

Media massa juga memberikan pengaruh bagi psikis masyarakat luas. Akibat pemberitaan yang cenderung memprioritaskan pelakunya dan minim pemberitaan berperspektif korban, maka masyarakat cenderung tak peduli pada nasib korban. Dampaknya yang muncul adalah ketakutan-ketakutan, bukan rasa empati dan solidaritas kepada korbannya.

Adapun dampak ekonomi yang bisa kita lihat secara kasat mata dari aksi-aksi terorisme adalah anjloknya pariwisata. Kita lihat akibat bom Bali. Sektor pariwisata di sana anjlok drastis. Padahal Pulau Dewata memiliki ketergantungan yang cukup besar secara ekonomi kepada sektor ini.

Pemaafan sebagai kemenangan

Menariknya sejumlah korban yang terdampak langsung aksi terorisme justru memilih memaafkan pelakunya. Hal itu dilakukan semata-mata untuk merelakan semua yang terjadi. “Saya tidak pernah sakit hati ataupun dendam, karena itu semua tidak akan mengembalikan suami saya. Saya fokus untuk menghidupi anak-anak saya,” papar Wartini, seorang korban tidak langsung serangan teror di Kedutaan Besar Australia Jakarta, 16 tahun silam.

Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. II): Satu Tungku Tiga Batu Papua

Kita belajar dari korban bahwa pemaafan adalah kunci bagi terwujudnya perdamaian. Bayangkan apabila para korban memilih mendendam, apalagi bila diwariskan turun-temurun, maka rantai kebencian akan terus tersambung. Perasaan adanya ketidakadilan berpotensi dibalas dengan tindak ketidakadilan serupa.

Jiwa besar pemaafan korban sesungguhnya selaras dengan nilai-nilai dalam ajaran agama. Semua agama mengajarkan umatnya untuk menebar kebaikan dan menganjurkan untuk memaafkan kesalahan orang lain. Dalam Islam, Allah meminta umatnya untuk menjadi pribadi yang pemaaf, tidak mendendam.

Baca juga Memuliakan Rumah Ibadah

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang di antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia. Sifat-sifat yang baik itu tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang sabar dan tidak dianugerahkan melainkan kepada orang-orang yang mempunyai keuntungan yang besar.” (QS. Fushilat: 34-35)

Pemaafan juga tertuang dalam Alkitab Efesus 4:31-32, yang menyatakan bahwa kita harus ramah kepada orang lain, penuh kasih mesra dan saling mengampuni, sebagaimana Allah yang selalu mengampuni umatnya.

Baca juga Salahuddin al-Ayubi: Panglima Tempur Pencinta Damai

Dengan modal pemaafan ini, sejatinya para korban telah meraih kemenangan sejati. Kemenangan itu adalah ketika seseorang mampu melawan kegagalan. Ketika keadaan buruk menimpa hingga membuat kita pilu, luka, dan derita, maka jiwa pemenang sejati adalah bangkit, ikhlas dan menghadapi semua ujian itu dengan jiwa yang besar. Sekali lagi pemaafan korban telah mencerminkan mereka sebagai pemenang sejati.

Diterima Masyarakat

Pemaafan tidak hanya menjadikan keterpurukan sirna dan melahirkan perdamaian. Lebih dari itu, pemaafan korban juga telah membantu para mantan teroris bertobat dan berbaur dengan masyarakat. Untuk mewujudkan hal itu tentu diperlukan pula peran dan kerjasama antara lembaga pemerintah, organisasi sosial, dan tokoh masyarakat agar mantan teroris yang insaf bisa diterima kembali oleh masyarakat.

Baca juga Momentum Pemenuhan Hak Korban Terorisme

Menerima pertobatan mantan pelaku terorisme akan mengubur masa kelamnya sehingga mereka bisa menjadi agen perdamaian. Mereka bisa memberikan pengalaman kisah hidupnya yang pernah tersesat dalam kelompok ekstrem. Dengan mengetahui langsung dari sumbernya, masyarakat dapat menyadari bahwa bahaya terorisme bisa mengancam siapa saja, tak pandang bulu. Muaranya, meskipun perlahan perdamaian akan terjaga.

Baca juga Pandemi Covid-19 dan Tafsir Dukhan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *