11/06/2020

Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. III): Mendalami Konsep Tepa Salira

Oleh: Linda Astri Dwi Wulandari
Alumni Magister Kajian Tradisi Lisan Universitas Indonesia

“Kabeh manungso kudu nduweni tepo seliro marang wong liyo”

Begitulah nasehat yang kerap dilontarkan oleh guru saya di Sekolah Dasar belasan tahun yang lalu. Nasehat itu kerap muncul di antara omelan kemarahannya ketika saya dan beberapa teman terlibat perselisihan. Secara sederhana makna dari nasehat berbahasa Jawa itu adalah semua manusia harus memiliki tepa selira kepada orang lain.

Bagi orang Sunda atau Jawa, kata tepa salira atau tepo seliro, pasti tidak asing untuk didengar. Dalam budaya Jawa, tepa selira dapat diartikan sebagai sikap individu untuk mengontrol pribadinya berdasarkan kesadaran diri. Hal tersebut kemudian diwujudkan dalam sikap saling menjaga dan saling menghormati siapa pun dalam pergaulan. Orang Jawa menanamkan jiwa tepa selira-nya untuk bisa menempatkan diri pada lingkungan apa pun.

Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. I): Kesadaran tentang Keberagaman

Frasa tepa selira yang menjadi falsafah hidup orang Jawa tak sekadar mengajarkan tentang cara menghargai. Lebih dari itu, sikap tersebut dimaknai dengan cara berusaha ikut merasakan apa yang dirasakan orang lain. Falsafah ini kemudian menjadi dasar hidup orang jawa untuk terus memupuk empati dalam bermasyarakat. Tepa selira mengandung makna tenggang rasa, peka terhadap perasaan orang lain, dan kemampuan mengambil sikap dalam menghormati hak-hak sesamanya.

Ajaran tepa selira yang telah dipupuk sejak kecil oleh masyarakat Jawa kepada anak-anaknya rupanya menarik banyak pihak untuk mempelajarinya lebih dalam. Pada tahun 2015, dalam acara Asia Pasific Regional Workshop and Juniors Asia Pasific Regional Conference, tepa selira dijadikan tema khusus yang dikampanyekan sebagai upaya Indonesia membangun perdamaian dunia.

Baca juga Membangun Damai Berbasis Kearifan Lokal (Bag. II): Satu Tungku Tiga Batu Papua

Dalam acara yang dihadiri sekitar 185 peserta dari 15 negara Asia Pasifik di Lembang Bandung tersebut, Indonesia melalui delegasinya berusaha untuk menyuarakan nilai kearifan lokal tepa selira sebagai salah satu nilai luhur bangsa Indonesia dalam menghormati perbedaan dan menyelesaikan suatu permasalahan. Bukan hanya itu, dilansir dari Kompas  (19/01/2015), mantan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin pun pernah mengatakan bahwa ajaran tepa selira sudah selayaknya bisa ditawarkan pada dunia untuk berkontribusi dalam perdamaian.

Saya yakin, jika kita mampu menjiwai keluhuran sikap tepa selira dan menerapkannya dalam pergaulan sosial baik dunia nyata maupun jagat maya, harmoni bangsa akan terus terjaga. Falsafah ini sangat layak dikampanyekan dalam konteks kebebasan berekspresi dan berpendapat seperti sekarang. Sudah selayaknya, orang tetap bersikap tepa selira meskipun itu di media sosial. Jika demikian, kita akan sangat percaya diri mengenalkan falsafah ini kepada dunia internasional.

Baca juga Agen Sosialisasi Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *