26/07/2020

Perjuangan Pemulihan Psikis Korban Bom Thamrin

Aliansi Indonesia Damai- Aksi terorisme bukan hanya mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan luka fisik, namun juga meninggalkan trauma psikis berkepanjangan bagi korbannya. Hal itu dirasakan oleh Dwi Siti Romdhoni, korban Bom Thamrin 2016. Bukan perjalanan yang mudah baginya untuk bisa pulih hingga saat ini.

“Tahun-tahun pertama, sekitar 2016-2017, saya merasakan ketakutan bertemu dengan orang baru, terutama orang berbaju hitam, orang memakai ransel dan topi, serta bunyi-bunyi suara,” ungkap Dwiki, sapaan akrab Dwi Siti Romdhoni, saat menjadi narasumber kegiatan Diskusi dan Bedah Buku La Tay’as: Ibroh dari Kehidupan Teroris dan Korbannya” yang digelar AIDA secara daring bersama dengan Eksekutif Mahasiswa (EM) Universitas Brawijaya, pada Rabu (21/07/2020).

Baca juga Habitus Perdamaian: Belajar Dari Penyintas

Dwiki menuturkan, pada masa awal perawatan di rumah sakit, hampir setiap 2 jama sekali ia didatangi psikolog mengingat kondisi kejiwaannya yang belum stabil. “Saat masih dirawat intensif di RS, ada charger handphone teman saya jatuh. Itu tidak keras. Tetapi saya kaget luar biasa dan langsung teriak minta tolong,” katanya mengenang.

Pada tahun kedua, kondisi psikis Dwiki cukup membaik tetapi belum pulih sepenuhnya. Ia masih mengalami kegelisahan dan kecemasan hingga akhirnya harus dirujuk ke psikiater. “Tahun kedua, psikolog memberikan rujukan untuk ke psikiater karena saya masih gelisah dan merasa tak percaya diri dengan kondisi saya yang bisa disebut difabel. Saya tidak bisa bekerja dengan baik, tidak bisa bergaul seperti biasanya, income menurun, saya merasakan kecemasan,” ujarnya.

Baca juga Ilham Perdamaian

Selama dua tahun, Dwiki menjalani konseling, baik di RS rujukan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) maupun fasilitas konseling dari AIDA. “Ketika di RS, dari psikiater saya mendapatkan obat untuk gangguan kecemasan yang hanya bisa saya konsumsi selama 2 bulan. Sedangkan dengan psikolog dari AIDA saya mendapatkan layanan konsultasi, trik, atau terapi yang bisa saya gunakan,” tutur Dwiki mengingat masa-masa sulitnya.

Menurut dia, saat itu adalah masa yang paling berat. Ia sering merasa kalut dan tiba-tiba merasa “blank” secara mendadak saat dirinya seharusnya dituntut untuk fokus. “Ketika saya misalkan sedang meeting, saya tiba-tiba nge-blank” ujarnya.

Baca juga Meredam Amarah demi Bumi Damai

Untuk mengatasi problem tersebut, Dwiki menerapkan trik-trik yang didapatkan dari psikolog seperti dengan mengatur pernapasan berdasarkan beberapa ketukan. Terapi lain adalah menggambar dan membaca Al-Quran. Hal tersebut ia lakukan dengan rutin hingga kondisinya membaik.

“Waktu itu saya selalu kembali konsultasi ke psikolog beberapa bulan sekali. Sekarang Alhamdulillah tidak kambuh lagi. Kalau konsultasi hanya biar lebih tough (kuat: red) lagi ketika berbicara atau berkisah di hadapan orang-orang, dan bagaimana saya bisa berkreasi karena tidak semua pekerjaan bisa menerima saya sebagai difabel,” tutur Dwiki.

Baca juga Korban Bom Kuningan Berdamai dengan Kenyataan

Dwiki menjadi korban bom ketika sedang bertemu klien kerjanya di salah satu café di Jalan MH Thamrin Jakarta Pusat. Saat bom meledak, dirinya terpental dan tak sadarkan diri. Akibat dari kejadian tersebut ia mengalami patah tulang leher sebelah kiri.

Baca juga Ketegaran Korban Bom Kuningan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *