07/03/2021

Mengelola Fenomena Clicktivism

Oleh Faruq Arjuna Hendroy
Sarjana Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah

Kemajuan teknologi telah memberikan begitu banyak kemudahan bagi aktivitas manusia. Salah satunya adalah internet. Keberadaan sistem informasi dan komunikasi ini menjadi hal yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia milenial. Seiring dengan semakin canggihnya perangkat komunikasi, akses terhadap internet pun semakin mudah dan murah.

Apalagi semenjak munculnya wabah pandemi Covid-19, ketergantungan terhadap internet semakin tinggi. Manusia memasuki sebuah fase kehidupan baru, di mana akses terhadap internet bukan lagi pilihan, melainkan kebutuhan. Segala aktivitas yang sebelumnya dilakukan secara langsung atau tatap muka, saat ini mulai dialihkan ke lingkup virtual. Atas dasar itulah, hampir semua manusia di seluruh belahan bumi semakin bergantung terhadap internet.

Baca juga Perdamaian dari Akar Rumput

Satu hal yang mesti diingat, internet tidak ubahnya seperti benda yang dimanfaatkan oleh pihak tertentu untuk mencapai tujuannya. Sifat kebendaannya itu tidak bisa menentukan mana outcome yang positif dan yang negatif. Semuanya mutlak bergantung pada kehendak penggunanya. Masifnya penggunaan internet serta penyaluran kepentingan pihak-pihak tertentu atasnya telah melahirkan tren baru bernama clicktivism.

Clicktivism adalah akronim dari kata click yang berarti sebuah aktivitas virtual dan activism yang berarti gerakan sosial politik. Menurut kamus Oxford, clicktivism berarti sebuah aktivitas yang menggunakan media sosial atau media daring lainnya untuk mempromosikan suatu kasus/isu/masalah.

Baca juga Keniscayaan Perdamaian

Awal mula digunakannya istilah clicktivism ini tak lebih dari 10 tahun yang lalu. Pada 2011, sekelompok orang di Amerika Serikat memprotes ketidaksetaraan ekonomi dan sosial serta tingginya korupsi di negara itu melalui aksi demonstrasi bernama Occupy Wall Street. Dalam demonstrasi itu, media sosial menjadi salah satu senjata yang digunakan untuk menyuarakan protes.

Sejak saat itu, istilah clicktivism semakin sering terdengar dan dipraktikkan. Sekelompok orang yang memiliki tujuan tertentu mulai melirik media sosial dan menjadikannya alat untuk mengumpulkan dukungan. Mereka memproduksi idealisme dan kebenaran versi mereka, lalu melemparkannya kepada publik. Adanya fitur seperti like, comment, dan share membantu dalam mengidentifikasi berapa banyak publik yang mendukung pemikiran mereka.

Baca juga Arif Menyikapi Bencana

Jika diperhatikan, hampir semua aktivitas clicktivism ini berangkat dari adanya ketidakadilan. Oleh karena itu, sekelompok orang yang terusik dengan adanya ketidakadilan itu menyuarakan solusi untuk memperbaikinya. Dapat dikatakan, clicktivism diawali oleh sebuah niat baik dan outcome yang diharapkan hendaknya juga baik.

Meskipun demikian, dalam praktiknya tidak selalu berjalan sesuai yang diharapkan. Sekelompok orang justru merespons ketidakadilan itu dengan cara menghasut, menebar kebencian, dan mengobarkan amarah. Itu semua menyebar di media sosial. Bukannya menyelesaikan ketidakadilan, yang ada justru menciptakan ketidakadilan yang baru.

Baca juga Mendakwahkan Akhlak

Akhir-akhir ini kita seringkali melihat fenomena itu. Hanya gara-gara berbeda pandangan politik misalkan, lalu merembet ke persoalan SARA. Anak bangsa disibukkan dengan saling ejek satu sama lain, perpecahan yang tidak membuahkan produktivitas apa pun. Yang ada, peluang terjadinya disintegrasi bangsa semakin besar.

Di sisi lain, kelompok ekstrem ikut memanas-manasi situasi dengan mempropagandakan paham-paham kekerasan. Selain mengumbar kebencian kepada kelompok lain, mereka juga memvisualisasikan negara ideal yang mereka ingin bentuk, sembari mendoktrin bahwa satu-satunya cara untuk mencapai negara ideal itu adalah dengan cara-cara kekerasan. Kelompok ekstrem ini pandai betul menunggangi media sosial, dan tak sedikit orang yang terpapar ideologinya.

Baca juga Berjihad Mesti dengan Ilmu

Tingginya akses masyarakat terhadap internet dan media sosial dikarenakan pandemi membuat mereka rentan terhadap spirit negatif kelompok-kelompok tersebut. Dibutuhkan kemampuan filter yang tinggi agar masyarakat tidak mudah terjerumus. Di samping itu, peran para penggagas perdamaian yang tidak ingin bangsa ini jatuh dalam perpecahan juga sangat diperlukan.

Clicktivism adalah fenomena yang tak terelakkan. Tetapi soal bagaimana kita mengelolanya, itu pilihan.

Baca juga Kerendahan Hati Membangun Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *