Awalnya Canggung Berakhir Canda
Aliansi Indonesia Damai- Memertemukan penyintas dan mantan anggota kelompok ekstremisme kekerasan bukanlah hal mudah. Para penyintas terkadang masih membawa rasa marah atas apa yang menimpa dirinya atau keluarganya.
Di kutub lain, mantan ekstremis yang masih dalam proses perubahan kerapkali masih berhadapan dengan stigma sosial. Tak pelak ada beban dalam dirinya saat hendak dipertemukan dengan penyintas terorisme.
Baca juga Ibroh dari Dialog Korban dan Pelaku Terorisme
AIDA dalam pelbagai kesempatan mencoba memfasilitasi proses rekonsiliasi antarkedua pihak tersebut. Tentu ada perasaan ‘ngeri-ngeri sedap’ karena harus berada dalam posisi netral, obyektif, dan penuh empati. Semuanya demi harmonisasi antara penyintas dan mantan ekstremis.
Di balik proses rekonsiliasi itu, terkadang terselip kisah-kisah lucu. Misalnya, tidak jarang salah satu tim AIDA dianggap sebagai mantan ekstremis yang akan dipertemukan dengan mereka. Ada tatapan tajam atau sekadar fokus memerhatikan gerak-gerik. Tentu saja, yang diamati akan kikuk sendiri. Barulah setelah berkumpul, seluruh tim akan diperkenalkan atau memerkenalkan diri. Suasana pun mulai mencair.
Baca juga Stereotip dan Pentingnya Saling Mengenal (Bag. 1)
Pengalaman canggung pernah dirasakan Reni Agustina Sitania. Reni kehilangan saudara kandungnya, Martinus Sitania, akibat ledakan bom di depan kantor Kedutaan Besar Australia di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan, September 2004.
“Jadi waktu di lobby hotel, saya cerita (ke salah satu anggota rombongan). Saya mau ikut kegiatan AIDA karena saya penasaran bagaimana sih wajahnya teroris-teroris itu,” ujarnya kepada penulis.
“Ternyata pas ngomong seperti itu, di depan saya ada pak Kurnia Widodo,” kami pun tertawa bersama.
Baca juga Stereotip dan Pentingnya Saling Mengenal (Bag. 2-Terakhir)
Kurnia Widodo merupakan salah satu mantan narapidana terorisme yang cukup lama bergabung bersama AIDA untuk mengampanyekan perdamaian. Kurnia tak pernah lelah meminta maaf kepada setiap penyintas terorisme, baik secara langsung maupun virtual, meskipun ia tidak terlibat langsung dalam aksi yang mencederai penyintas tersebut.
Kini Reni dan Kurnia aktif mengampanyekan perdamaian dalam pelbagai kegiatan AIDA. Rasa canggung di antara keduanya pun telah berganti dengan persahabatan. Saat berkumpul, yang muncul adalah canda tawa dan kehangatan.
Baca juga Meluruskan Pemahaman Jihad
Sebagian orang mungkin berpandangan bahwa kedua pihak hampir mustahil dipersatukan. Hampir tidak masuk akal penyintas merangkul persaudaraan dengan mantan pelaku terorisme. Namun inilah faktanya. Di antara mereka justru terjalin hubungan erat bak ikatan saudara.
Baca juga Afirmasi Diri: Kisah yang Menjelma Makna dan Kata-kata