12/04/2022

Berdamai dengan Trauma:
Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. II)

“Saya diminta untuk dirawat di rumah sakit. Tetapi saya tetap tidak mau. Saya dibujuk oleh orang-orang yang ada di situ, termasuk Kapolsek, dokter, kakak untuk dirawat di rumah sakit. Saya merasa tempat teraman adalah di rumah bersama keluarga,” ucap Andin.

Meski mengalami dampak serius akibat ledakan bom, Andin keukeuh pulang ke rumah. Ia enggan menjalani rawat inap. Beberapa pihak, termasuk dari instansi pemerintah dan kepolisian, merayunya agar mau dirawat di rumah sakit. Namun ia menolaknya. Baginya tempat paling aman adalah rumah. Pihak kepolisian pun mengabulkan permintaan Andin. Tenaga medis mendatangi rumahnya setiap hari selama satu bulan penuh. Anggota kepolisian juga menjaga rumahnya.

Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. 1)

Kala itu tangan Andin harus disokong kawat pengikat permanen agar kembali bisa digerakkan. Hingga kini ia tidak bisa mengangkat benda-benda yang berat. Sementara tulang kering kakinya sedikit bengkok. Ia sempat tiga bulan tidak bisa berjalan. Telinga sebelah kirinya yang sempat terus menerus berdengung selama berbulan-bulan, sekarang juga tak bisa mendengar sempurna.

Selain dampak fisik, trauma psikis juga mendera Andin. Ia berbulan-bulan insomnia. Ia baru bisa tidur di pagi hari selama beberapa saat. Itu pun harus ditemani oleh anggota keluarganya. “Saya hanya bisa tidur kalau dengar azan subuh. Oh berarti orang-orang sudah bangun. Kalau saya mau tidur suasana kamar harus ramai, tidak boleh sepi,” ujar Andin sembari terisak.

Baca juga Sepenggal Kisah Penyintas Bom Thamrin, Deni Mahieu: Mensyukuri Kesempatan Hidup Kedua

Keluarganya terus membantu untuk dapat tertidur. Mereka bergantian menemani Andin, entah mengobrol atau melakukan hal lain. Saat Andin terbangun dengan kondisi kamar sunyi, ia langsung berteriak histeris. “Udah gila kali ya saya saat itu. Badan itu terasa seperti panas. Setiap hari kalau buka mata bukan melihat matahari tapi melihat api yang meledak. Itu berjalan dua bulan,” ucapnya.

Trauma psikis memperburuk kondisi mentalnya. Ia mengalami depresi dan ketakutan bertemu orang selain anggota keluarganya. Bahkan saat disapa oleh tetangganya yang melintas di depan rumah, Andin lari dan kabur ke dalam rumah.

Kondisi tersebut sempat membuat Andin terpikir untuk mengakhiri hidupnya. “Saya berpikir, ngapain saya hidup? Jalan nggak bisa, nyusahin keluarga, kuping berdengung gitu. Bagaimana saya mau melanjutkan hidup saya, kalau ngapa-ngapain saya nggak bisa?” ujar Andin mengenang krisis psikis yang pernah menerpanya. (Bersambung)

Baca juga Afirmasi Diri: Kisah yang Menjelma Makna dan Kata-kata

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *