18/04/2022

Berdamai dengan Trauma:
Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. Terakhir)

Andin mengaku minder dengan kondisi dirinya. Akibat musibah pengeboman yang menimpanya,  ia tak bisa menjadi pribadi mandiri. Jangankan kembali bekerja,  untuk berjalan saja susah. Tidur pun harus ditemani. Tubuhnya yang penuh luka akan terlihat berbeda dengan perempuan-perempuan lain.

“Saya akhirnya ke psikiater. Saya ingat, diminta untuk minum obat, karena ini sudah bahaya, nggak bisa tidur dan pernah melakukan percobaan bunuh diri. Ini berbahaya,” ujar Andin mengenang saat dirinya berkonsultasi dengan psikiater.

Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. 1)

Obat-obatan penenang diberikan kepada Andin sebagai solusi awal. Ia pun mematuhi instruksi dokter kejiwaan itu. Andin mengonsumsi obat secara rutin yang ternyata mampu membantunya untuk tertidur. Namun trauma yang dihadapi Andin belum menghilang.

Ia mengaku kasihan dengan orang tuanya yang terus-menerus menjadi support system dirinya. Menurut Andin, hidupnya yang sebenarnya sudah berakhir di 14 Januari 2016, hari peristiwa serangan Bom Thamrin. Sisanya adalah penderitaan.

Baca juga Berdamai dengan Trauma: Kebangkitan Penyintas Bom Thamrin (Bag. II)

Kebangkitan Andin dimulai pada saat terbangun di malam hari. Ia menjalankan salat malam dan setelahnya berdoa kepada Tuhan. “Saya nggak minta dibuat cepat sembuh. Saya cuma minta, Ya Allah satu malam saja, saya ingin tidur. Bagaimana saya bisa sembuh kalau tidur saja nggak bisa?” ujarnya seraya terisak.

Doa tersebut dikabulkan oleh Allah. Ia tertidur pulas dengan mukena masih melekat di tubuhnya. Saat terbangun ia merasa tubuhnya lebih segar. Ia lantas bertekad agar mampu lepas dari trauma psikisnya. Andin merasa doa yang dikabulkan oleh Allah memicunya untuk tidak larut apalagi kalah oleh sakit yang dirasakannya.

Baca juga Sepenggal Kisah Penyintas Bom Thamrin, Deni Mahieu: Mensyukuri Kesempatan Hidup Kedua

“Ayo bisa, bisa, bisa. Kekuatan dari pikiran dan apa yang kita rasakan ternyata bisa membuat saya bangkit. Pertama saya mulai dengan memaafkan diri saya sendiri,” katanya.

Pascakejadian Andin mengaku sering menyalahkan dirinya. Ia sering menghakimi pilihannya yang memilih ke coffee shop daripada menyelesaikan kewajiban perkerjaannya di kantor. Setelah memaafkan dirinya sendirinya, Andin pun mulai mengikhlaskan kejadian yang menimpanya.

“Tanggal 14 Januari itu mungkin emang sudah takdir saya kena (bom). Emang saya korbannya, ya mau apa? Saya mempercayai itu jalan Allah untuk saya,” ujarnya.

Baca juga Afirmasi Diri: Kisah yang Menjelma Makna dan Kata-kata

Setelah melalui dua hal tersebut, ia pun melapangkan hatinya untuk sesuatu yang lebih besar. Andin mencoba untuk memaafkan pelaku. Menurut Andin, pelaku bom Thamrin memang sudah meninggal di tempat. Namun Andin memaafkan mereka tanpa perlu dimintai maaf. Pemaafan menjadi hal penting, bahkan menjadi faktor utama kebangkitannya. Andin memaafkan pelaku untuk dirinya agar bisa melepaskan semua beban.

“Saya menikmati prosesnya. Sampai 8 bulan akhirnya mampu memutus obat penenang. Padahal prediksi dokter itu obat 2 tahun saya minum. Saya pikir, sembuhnya saya itu 20 persen dari obat dan 80 persen dari saya sendiri,” tutur Andin.

Baca juga Berdakwah di Era Digital

Kondisi fisik Andin memang tak lagi normal seperti sebelumnya. Sisa-sisa trauma masih ada. Buktinya saat bercerita tentang musibah yang menimpanya, ia masih sering menangis. Namun ia memilih berdamai dengan traumanya.

Selain faktor keikhlasan, dukungan dari orang-orang sekitarnya sangat berguna dalam proses pemulihan. “Pesan saya, siapa pun yang sedang mengalami trauma, depresi, dan masalah mental, jadilah support system terbaik. Karena alhamdulillah support system obat yang paling berguna,” ujar Andin yang mengaku pernah mendapatkan perlakuan tidak mengenakkan dari rekan kerja terkait kondisi traumanya.

Baca juga Mengenal Simbol-Simbol Perdamaian

Kini Andin masih berjuang meraih kesembuhannya. Meski kejadian yang menyakitinya sudah terjadi 6 tahun lalu. Pengalaman pahit dan hal-hal yang ditinggalkan dari kekejaman bom Thamrin tidak menghalanginya untuk mengingatkan bahaya akan aksi kekerasan atas nama apa pun.

“Trauma saya belum hilang, nggak masalah. Karena menurut saya, trauma bukan salah saya, tapi untuk sembuh itu tanggungjawab saya,” ujarnya mengakhiri cerita dengan tersenyum.

Baca juga Membaca Ayat-Ayat Kauniyah Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *