Jalan Hidup Mantan Ekstremis
Aliansi Indonesia Damai- Perjalanan hidup manusia memang misterius. Orang yang dulu berkubang dalam ekstremisme kekerasan, kini menjadi aktivis perdamaian. Begitulah transformasi kehidupan Kurnia Widodo, mantan narapidana terorisme yang pernah beberapa tahun mendekam di Lapas Cipinang Jakarta karena terbukti terlibat dalam perakitan bom.
Kurnia terpapar paham keagamaan ekstrem saat masih duduk di bangku SMA. Ia disuguhi materi keislaman yang tidak didapatkannya di sekolah. Salah satu topik yang menariknya adalah jihad. Tema itu membakar semangat keislamannya. Perlahan Kurnia tak hanya aktif mengikuti pengajian kelompok ekstremis, namun juga mengikuti pelatihan semimiliter (i’dad ‘askary) sebagai bentuk persiapan jihad.
Baca juga Ekstremisme dan Filosofi Sandal
Kala itu Kurnia adalah sosok yang sangat eksklusif. Ia mudah sekali mengafirkan orang lain. Terlebih saat mengaji langsung dari Aman Abdurrahman, sosok yang sangat berpengaruh di kalangan ekstremis. Hanya karena perbedaan pendapat, orang tua sendiri pun bisa dikafirkan.
Demokrasi dicap syirik, Pancasila dan Indonesia dianggap thaghut, para aparat keamanan mendapatkan stempel ansharut thaghut yang kafir. Bagi mereka, orang kafir halal ditumpahkan darahnya. Kurnia bahkan tak sudi menyekolahkan anaknya di sekolah negeri, karena dianggap mengajarkan ‘kesyirikan’ seperti menghafal Pancasila, hormat bendera, dan lain sebagainya.
Baca juga Titik-Titik Balik Seorang Ekstremis
Aktivitas kelompok Kurnia terendus aparat beriringan dengan terbongkarnya pelatihan militer di Aceh. Aparat pun menciduk sejumlah teroris, termasuk Kurnia. Ia pun dijebloskan penjara dengan vonis hukuman enam tahun kurungan. Di balik jeruji inilah, Kurnia mulai menemukan kembali jalan menuju perdamaian.
Ia berdialog dengan beberapa ustaz yang berbeda paham dengannya dan menjalin interaksi intensif dengan para petugas Lapas. Usai bebas dari penjara, ia bertemu dengan korban aksi terorisme. Serangkaian proses itu menumbuhkan pemikiran kritis dalam dirinya. Kurnia mulai menyadari bahwa selama ini ia terjebak dalam pemahaman yang salah dan merugikan banyak orang.
Baca juga Ali Fauzi Sembuh dan Menyembuhkan
Kurnia perlahan berubah menjadi pribadi yang baru; lebih hangat dan bersahabat. Sejak saat itu ia berkomitmen untuk berjuang di jalan perdamaian, serta meninggalkan masa lalu yang dipenuhi dengan amarah, kebencian, dan semangat kekerasan. Ia tidak sungkan mengkritisi pemikirannya di masa lalu yang sangat eksklusif dan cenderung tak berperikemanusiaan.
Misalnya tentang demokrasi. Kurnia menyanggah pandangan yang mengatakan demokrasi adalah syirik. Baginya demokrasi sejatinya hanya salah satu dari sistem pemerintahan, bukan agama. Sehingga tidak tepat jika demokrasi disebut syirik dan para pendukungnya dilabeli musyrik. Justru sistem kerajaan lebih otoriter.
Baca juga Dari Wilayah Konflik ke Ruang Pendidik
Kurnia juga mengkritik pandangan bahwa Indonesia adalah negara Thaghut. Ia meyakini republik ini adalah produk konsensus para ulama dan tokoh Islam di masa lalu. Sudah seharusnya semua warga Indonesia menghargai dan menghormati konsensus tersebut.
Kurnia mengibaratkan konsensus Indonesia seperti Piagam Madinah yang ada di zaman Nabi Muhammad SAW dahulu. Tidak hanya umat Islam saja yang bermukim, melainkan juga ada warga non-muslim yang mendapatkan jaminan keamanan, perlindungan ekonomi, sosial, dan hak beragama. Oleh karenanya, tidak berhak bagi seorang muslim menyakiti atau membunuh non-muslim, apalagi sesama muslim.
Baca juga Pendidikan Kritis Mengentaskannya dari Ekstremisme
Berkaca dari perjalanan hidupnya, Kurnia berpesan kepada para pemuda agar selalu mengasah pikiran kritis agar tak terjerat paham ekstremisme. Ia berulang kali mengingatkan, alasannya dulu bergabung dalam ekstremisme kekerasan adalah karena pemikirannya yang sempit, menolak mendengar pandangan dari orang lain. Jadilah ia merasa paling benar dan berujung merugikan orang lain.
Baca juga Dulu Meracik Bom Kini Meretas Damai