Mensyukuri Nikmat di Tengah Pandemi
Oleh Wiwit Tri Rahayu,
Alumni Pondok Pesantren Ar-Risalah Lirboyo, Kediri
Tahun sudah akan berganti, namun pandemi Covid-19 belum juga menunjukkan tanda-tanda akan berhenti. Pandemi jelas menjadi cobaan bagi kita semua. Ini menunjukkan bahwa musibah bisa datang kepada siapa pun. Meskipun demikian pandemi ataupun musibah bukanlah alasan bagi manusia untuk ingkar terhadap nikmat yang telah dianugerahkan Allah SWT kepada seluruh hamba-Nya.
Dalam Al-Qur’an surat Al-Ankabut ayat 2-3 dijelaskan bahwa musibah yang diberikan kepada umat merupakan ujian keimanan dari Allah SWT. Ayat tersebut menunjukkan bahwa beriman dan menjadi seorang mukmin tidak serta merta melepaskan seseorang dari berbagai macam ujian. Menerima musibah bagi seorang mukmin adalah keniscayaan untuk menguji keimanan dan kesabaran mereka.
Selain itu, jika kita gali makna dari musibah secara lebih mendalam, kita akan mengetahui bahwa musibah merupakan sarana untuk membuat manusia lebih bersyukur. Karena sejatinya musibah merupakan bagian dari nikmat hidup yang diberikan selama manusia tinggal di dunia.
Baca juga Ketangguhan Melawan Ekstremisme
Sebagaimana diungkapkan oleh Ibnu Atha’illah as-Sakandari dalam Kitab Al Hikam (halaman 97-98), sejatinya manusia hidup dengan dua kenikmatan, yaitu kenikmatan ijaad (diciptakan) dan imdaad (dicukupkan atas kebutuhan).
نِعْمَـتَانِ مَـاخَرَجَ مَوْجُوْدٌ عَنْهُـمَـا وَلاَبـُدَّ لِکُـلِ مُکَوَّنٍ مِنْهُـمَـا نِعْـمَـةُ اْلإِيْجَـادِ ونِعْـمَـةُ اْلإِمْدَادِ
أَنْعَمَ عَلَيْكَ أوَّلاً بالإيجادِ وَثانِياً بِتَوالي الإمْدادِ
“Dua kenikmatan yang pasti dirasakan oleh makhluk, yaitu nikmat ijaad dan nikmat imdaad. Allah memberikan nikmat ijaad pada awalnya, dan selanjutnya memberikan nikmat imdaad.”
Nikmat ijaad adalah anugerah yang diberikan kepada manusia ketika manusia terlahir ke dunia, dari ketiadaan menjadi ada. Ketika manusia tersebut lahir, Allah memberikan kenikmatan yang lain berupa imdaad, di mana Allah memberikan manusia kecukupan untuk terus bertahan hidup. Dengan kata lain Allah telah menjamin kehidupan manusia selama di dunia.
Baca juga Sumpah Pemuda: Menyongsong Indonesia Emas
Ketika manusia diberi kesempatan untuk bertahan dalam suatu musibah, hal tersebut cukup untuk menjadi bukti bahwa Allah masih terus memberikan nikmat imdaad. Dengan demikian nikmat imdaad akan selalu ada. Musibah tidak lain adalah bagian dari perwujudan nikmat tersebut.
Jika manusia terus berusaha untuk mengambil hikmah dari musibah, ia akan menjadikannya sebagai sarana untuk terus mendekatkan diri kepada Allah. Pada umumnya manusia akan semakin dekat kepada Sang Pencipta ketika ia merasa kesulitan.
Sebagai tambahan, Allah juga telah menjamin dalam QS. Al-Insyirah ayat 5-6 bahwa bersama kesulitan pastilah ada kemudahan. Secara gramatikal, kalimat tersebut bahkan disebut dua kali dengan penyebutan kata kesulitan (ٱلْعُسْر) secara ma’rifat atau bersifat khusus/terbatas, sedangkan kemudahan (يُسْرًا) dinyatakan secara nakirah (umum) yang menunjukkan bahwa ia tak terbilang.
Baca juga Korona dan Keselamatan Bangsa
Artinya Allah menjamin bahwa satu kesulitan akan selalu diiringi dengan berbagai macam kemudahan, sehingga manusia hanya wajib untuk terus berusaha dan bersabar, alih-alih merutuki keadaan.
فَإِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا . إِنَّ مَعَ ٱلْعُسْرِ يُسْرًا
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan” (QS. Al-Insyirah: 5-6).
Kita belajar dari penyintas terorisme yang telah menunjukkan bagaimana mereka mensyukuri nikmat Allah SWT dengan terus bersikap tangguh ketika keputusasaan mungkin sudah ada di depan mata. Manusia mungkin memang tidak diberikan opsi untuk mati, tapi memilih untuk terus berusaha dan bertahan adalah wujud syukur manusia kepada Allah atas nikmat imdaad yang diberikan.
Baca juga Berkurban dalam Pengorbanan Corona