Bangkit demi Ibu
Aliansi Indonesia Damai- Aksi terorisme tidak hanya mengakibatkan luka fisik dan trauma bagi korbannya, namun juga berdampak pada perekonomian keluarga korban. Inilah yang dialami oleh Nugroho Agung Laksono, penyintas Bom Kampung Melayu 2017.
Sejak usia belasan tahun, Agung, demikian sapaan akrabnya, memutuskan untuk bekerja demi membantu perekonomian keluarganya. Usai ayahnya meninggal dunia, ia enggan melanjutkan sekolahnya yang masih di tingkat dasar.
Baca juga Semangat Belajar Penyintas Bom
“Ketika masih sekolah, saya mau bekerja ikut ayah menjadi kernet sopir angkot. Tapi sama almarhum tidak dibolehkan. Pada tahun 2011, saya ditinggal oleh ayah. Semenjak ayah tidak ada, saya melihat ibu bekerja di rumah orang. Saya punya niat membantu ibu, tapi tidak dibolehkan bekerja sama abang saya,” ucapnya dalam salah satu kegiatan AIDA.
Karena dilarang, ia ngumpet-ngumpet saat keluar rumah. Awalnya ia hanya menjadi kernet, namun kemudian belajar mengemudikan mobil dan dipercaya membawa angkot. Terminal Kampung Melayu adalah tempat mangkalnya untuk melepas lelah. Ia tak pernah menyangka akan mengalami musibah di lokasi itu.
Malam itu Agung sedang nongkrong bersama teman-temannya. Ledakan keras terdengar. Ia mengira ban bus Transjakarta meletus atau tabung gas meledak. Namun kemudian terdengar jeritan “minta tolong” dan terlihat banyak orang terluka, di antaranya anggota kepolisian yang sedang berjaga.
Baca juga Tak Cacat Ilmu
Ia berinisiatif mencari angkot untuk mengevakuasi para korban ke rumah sakit. Saat sedang membantu mengangkat salah satu korban, ledakan kedua terjadi. “Mata langsung buram. Saya lari untuk menjauhi ledakan itu. Saya lari tidak kuat, ternyata kaki saya robek dan keluar darah,” ucapnya.
Oleh rekan-rekannya, Agung lantas dibawa ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan pertolongan. Dari hasil pemeriksaan, urat tendon kaki kanannya putus sehingga mengharuskannya untuk menjalani operasi dan rawat inap berhari-hari di rumah sakit. Oleh dokter, ia lantas diharuskan menggunakan tongkat penyangga kaki untuk berjalan, setidaknya selama 6 bulan setelah operasi. Walhasil ia tak bisa bekerja membantu ibunya.
Baca juga Menjadi Pribadi Bermanfaat
Namun hanya sebulan setelahnya, ia memutuskan belajar lepas tongkat dan memutuskan kembali bekerja meski masih dihinggapi perasaan trauma. Ia merasa bosan di rumah. “Saya berpikir, tidak mau membebani orang tua saya. Abang-abang saya sudah pada nikah. Daripada saya di rumah terus, akhirnya saya memaksakan diri untuk narik,” katanya.
Hingga kini Agung tetap bekerja sebagai sopir angkot, meski sudah berpindah trayek. Ia juga bergabung dalam Tim Perdamaian AIDA. Dalam beberapa kesempatan, ia mengajak khalayak luas agar mencintai perdamaian dan menjauhi dendam. “Karena membalas kekerasan dengan kekerasan tidak akan ada habisnya. Tidak boleh ada dendam pada diri,” ucapnya.
Baca juga Sosok Kecil Bermental Besar