28/06/2021

Jihad untuk Perdamaian

Oleh Fahmi Suhudi
Alumni Universitas Islam Negeri  Syarif Hidayatullah Jakarta

Jihad dalam pengertian usaha mengalahkan musuh dengan cara berperang kerap digunakan oleh beberapa kelompok untuk membenarkan aksi-aksi kekerasan di luar zona perang. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad Saw digunakan sebagai pembenaran aksi-aksi brutal atas nama jihad tersebut. Padahal setiap ayat Al-Qur’an maupun hadis memiliki konteks sosial yang variatif sehingga makna jihad misalnya, juga tidak tunggal.

Kata جهاد  adalah derivasi dari akar kata جاهد yang secara etimologis berarti bersungguh-sungguh atau melakukan kemampuan yang terbaik. Dalam Al-Qur’an, kata جاهد dan turunannya disebutkan setidaknya sebanyak 31 kali dengan beragam makna dan konteksnya. Sebagian di antaranya memang berbicara tentang peperangan, tetapi hanya berlaku dalam kondisi mendesak/darurat. Itu hanya cara/pilihan paling terakhir dalam mempertahankan diri, jiwa, dan harta. Pasalnya banyak ayat yang berbicara tentang kewajiban menjaga kehidupan yang bernilai universal (Ziauddin Sardar, 2017). Dalam kajian Ulumul Qur’an, ayat yang bermakna umum dan universal lebih diprioritaskan ketimbang ayat bermakna khusus.

Baca juga Negara Madinah: Potret Ideal Pemerintahan Islam

Bisa dikatakan bahwa ekplorasi makna jihad secara serampangan itulah, yang seakan membuat makna jihad dipersepsikan dengan ekstrim. Tanpa mengenali arti bersamaan dengan konteks jihad, maka perjuangan atau pembelaan atas ajaran agama Islam dengan cara yang tidak tepat bahkan kekerasan mungkin akan terus berlanjut.

Setidaknya ada dua poin kenapa makna jihad harus dikembalikan kepada konteks dan pendapat para ulama. Pertama, bahwa memang di dalam al-Quran terdapat beberapa ayat yang menyebutkan secara eksplisit makna jihad yaitu berusaha secara sungguh-sungguh, mengerahkan kemampuan yang ada, berperang di jalan Allah. Akan tetapi, perbedaan pendapat terjadi di antara para ulama salaf mulai dari aspek niat hingga tujuan dan maksud jihad. Dari kalangan mazhab Hanafi menyatakan bahwa ayat-ayat jihad kebanyakan turun ketika berada di periode Madinah yang bertujuan memecah kesatuan dan mengalahkan pasukan kaum musyrikin yang ingin menyerang umat beragama di Madinah (Al-Syarakhsi, 2009, 30). Seorang ulama salaf Ibnul Mubarok (118-181 H/736-797 M)  dalam Kitabul Jihad (t.t, 162) mendefenisikan mujahid sebagai “man jahada nafsahu binafsihi, yaitu orang yang menahan dirinya dari dorongan nafsunya.”

Baca juga Terapi Pemaafan

Kedua, pendapat yang mengatakan bahwa kewajiban berjihad akan selalu ada hingga hari akhirat. Pendapat ini didasarkan atas sebuah hadis Nabi yang menyebutkan, bahwa kewajiban jihad sebagai perang tidak akan pernah dihilangkan, bahkan hingga hari kiamat datang (H.R. Ibnu Hibban no. 7307). Perlu dimengerti bahwa kewajiban jihad dalam hadis sini bersifat terbatas (takhshis), dan bukan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh setiap orang dan dalam keadaan setiap waktu. Sedangkan tujuan jihad bukanlah memerangi orang yang berbeda agama melainkan untuk mempertahankan diri (difa’iyah).

Adapun jihad yang dilakukan dengan cara kekerasan dan upaya balas dendam, hanya akan menimbulkan korban yang tak bersalah. Jihad yang disalahgunakan tersebut kerap menjadikan orang-orang non-muslim sebagai target. Namun tidak sedikit justru korban berjatuhan dari kalangan muslim sendiri. Oleh karena itulah, kita harus memahami jihad dengan makna sebenarnya.

Para ulama klasik menegaskan bahwa orang yang berbeda agama (non-Muslim) itu sendiri mendapatkan jaminan dan perlindungan untuk melaksanakan ibadat dan dijamin hartanya tanpa boleh dirusak (Al-Syarakhsi, 2009, 3). Menurut Ibnu Taimiyah (1998), kewajiban jihad bisa menjadi gugur karena beberapa faktor, antara lain karena tidak adanya orang yang memerangi umat Islam. Sebagaimana Rasulullah Saw tidak memerangi orang yang tidak melanggar perjanjian atau melakukan serangan terhadap umat muslim.

Baca juga Pemuda dan Dakwah di Media Sosial

Dalam menghadapi lawan-lawannya, Nabi dan pengikutnya lebih mengedapankan upaya diplomasi melalui dialog dan proses perundingan. Di Madinah, beliau menyampaikan ajaran Islam dengan mengajak keselamatan dan kedamaian, bukan perpecahan dan perseteruan di antara kelompok dan umat beragama. Jihad dalam arti perang, “terpaksa” dilakukan Nabi untuk membela umat Islam, mempertahankan diri, dan melindungi warga lain di Madinah.

Jihad Untuk Perdamaian

Di Indonesia, beberapa mantan ekstrimis yang pernah meyakini dan memahami jihad sebagai aksi kekerasan dan upaya balas dendam atas umat Islam yang dizalimi telah menyadari kesalahannya, dan karenanya bertaubat dari pemahaman tersebut. Mereka sadar bahwa para “mujahid” telah melawan kezaliman dengan cara menciptakan kezaliman yang baru, baik zalim terhadap agama, diri sendiri, keluarga maupun masyarakat luas.

Dahulu, mereka meyakini bahwa kebencian dan melawan ketidakadilan dengan cara melakukan kekerasan adalah cara terbaik. Bagi orang yang pernah terlibat dengan kelompok teror,  mereka memiliki kesadaran dan keyakinan untuk membantu umat Islam yang dizalimi atau diperangi di daerah lain dengan melakukan aksi pembalasan di tempat yang berbeda. Sebagai misal, penderitaan umat Islam di Palestina, Irak, Suriah dan Afganistan, mereka balas dengan melakukan pengeboman serta aksi teror lain di Indonesia.

Baca juga Pendidikan Perdamaian (Tarbiyah Silmiyah): Memaknai Kembali Tujuan Jihad

Para mantan teroris kemudian menyadari bahwa  aksi-aksi tersebut mendatangkan korban yang tidak bersalah serta sederet dampak buruk bagi korban terorisme. Ada yang mengalami luka bakar, kehilangan anggota tubuh, bahkan kehilangan anggota keluarga yang disayangi. Padahal mereka tidak ada salah sama sekali dengan pelaku. Bahkan jika tujuan mereka dalam rangka membantu umat Islam, akan tetapi yang menjadi korban justru dari umat Islam sendiri.

Sebagai bagian dari upaya pertaubatan mereka, sejumlah mantan teroris kemudian meminta maaf kepada para korban-penyintas terorisme. Mereka ingin menjadi pribadi yang lebih baik dengan bergandengan tangan bersama para penyintas dalam keyakinan yang baru yaitu jihad perdamaian (jihad silmi): berusaha bersungguh-sungguh untuk membangun perdamaian.

Baca juga Analisis Budaya: Halalbihalal

Kita bisa melihat pengamalan hakikat jihad dalam diri korban dan mantan pelaku tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh ulama salaf Ibnul Mubarok (118-181 H) di atas. Para mantan teroris berjihad dengan menghilangkan emosi kebencian, dendam, menyadari kesalahan dan bertaubat, adapun para korban terorisme juga berjihad dengan menekan dan menghilangkan rasa amarah, trauma, dendam serta keinginan untuk membalas perbuatan pelaku.

Keduanya memiliki dorongan untuk bisa memercayai dan saling mengenal lebih jauh, sehingga mereka bisa bersama-sama mengamalkan arti jihad yang lain yaitu berusaha sungguh-sungguh dalam membangun perdamaian (jihad silmi). Kedunya bisa menjadi contoh paling ideal dari suatu pengamalan jihad. Karena sikap saling memercayai dan rasa persaudaraan akan menumbuhkan cinta dan kedamaian bagi sesama umat manusia.

Baca juga Memaafkan dan Membangun Peradaban

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *