Menguatkan Anak Korban Terorisme
Aliansi Indonesia Damai – “Febri lebih mudah emosi dan tidak mau berangkat sekolah. Berkali-kali ia bertanya, siapa yang telah membunuh Ayah?” ujar Yuni Arsih dalam sebuah kegiatan bersama AIDA.
Yuni Arsih merupakan istri mendiang Suryadi, salah satu korban meninggal dunia akibat aksi pengeboman di depan kantor Kedubes Australia di Kuningan, Jakarta Selatan, 9 September 2004. Dampak bom tersebut rupanya tidak hanya membuat keluarga Yuni kehilangan tulang punggung, namun menyisakan luka psikis pada tumbuh kembang buah cintanya, yaitu Febri Renaldi.
Baca juga Awalnya Canggung Berakhir Canda
Sang anak yang biasanya periang berubah menjadi pemurung dan susah diatur. Yuni betul-betul merasakan betapa Febri terluka psikisnya. Bahkan menurut Yuni, ada indikasi sang anak ingin membalas dendam atas kematian ayahnya.
American Psychology Association menyatakan bahwa anak adalah kelompok yang paling rentan mengalami trauma setelah peristiwa kekerasan, baik kekerasan fisik, seksual, perang, bencana alam, maupun teror bom. Ada kecenderungan emosi anak mengarah pada depresi. Hal tersebut dikarenakan orang yang mereka cintai meninggalkan mereka secara tiba-tiba.
Baca juga Ibroh dari Dialog Korban dan Pelaku Terorisme
Penting bagi para anak korban terorisme untuk mendapatkan bantuan dari psikolog atau psikiater maupun orang terdekatnya guna menanggulangi efeknya dalam jangka panjang. Karena kondisi psikologis anak rentan terviktimisasi dan terpengaruhi oleh orang tuanya, seperti perubahan sifat akibat kelabilan emosi yang meledak-ledak dan mudah terpancing oleh para orang tua (korban dewasa) yang emosional karena peristiwa yang mereka hadapi.
Dikutip dari tulisan Septiani Timurtini Limbong berjudul Menyembuhkan Trauma pada Anak Korban Terorisme, setidaknya ada beberapa tindakan sederhana yang dapat dilakukan agar anak tidak mengalami trauma berlebihan akibat terorisme. Beberapa tindakan tersebut, di antaranya:
Baca juga Stereotip dan Pentingnya Saling Mengenal (Bag. 1)
Pertama, menciptakan lingkungan yang aman. Yakinkan anak bahwa ia bersama dengan orang yang menyayangi dan melindunginya. Tempatkan anak di lokasi yang ia kenali, agar dirinya merasa aman sepanjang waktu.
Kedua, berkata jujur pada anak. Nyatakan dengan bahasa yang sederhana apa yang sedang terjadi. Ucapkan dengan bahasa tubuh yang wajar dan intonasi suara yang rendah, agar anak tidak merasa takut atau panik.
Baca juga Stereotip dan Pentingnya Saling Mengenal (Bag. 2-Terakhir)
Ketiga, batasi paparan anak terhadap media massa dan media sosia. Gambar-gambar mengerikan terkait kejadian terorisme hanya akan memperburuk kondisi psikologis anak.
Keempat, pendampingan jangka panjang. Tindakan ini wajib dilakukan pada anak yang kehilangan anggota keluarganya karena aksi terorisme. Libatkan setiap orang yang berinteraksi dengan anak, mulai dari keluarga dekat, tetangga, guru, dan pemuka agama.
Baca juga Meluruskan Pemahaman Jihad
Mendampingi anak korban terorisme bukanlah hal mudah. Namun dengan empati dan penanganan yang tepat akan membantu anak melewati masa trauma yang ia hadapi. Bukan tidak mungkin, bahkan anak yang berhasil keluar dari perasaan trauma, akan menguatkan orang tuanya untuk bangkit dan menginspirasi kita lewat ceritanya, seperti yang Yuni dan korban lainnya lakukan bersama AIDA.
Baca juga Afirmasi Diri: Kisah yang Menjelma Makna dan Kata-kata