Pertobatan Mantan Ekstremis: Berawal Dari Pengajian Eksklusif (Bagian 1)
Aliansi Indonesia Damai- Ketertarikan orang bergabung dalam jaringan/kelompok ekstremisme memiliki beragam alasan. Ada yang terjerumus lantaran diajak oleh teman, guru, atau keluarganya sendiri. Namun ada juga yang memilih jalan kekerasan karena ingin membela agama dan umat Islam yang dianggap tengah dizalimi.
Salah satu mantan ekstremis yang bergabung karena alasan terakhir adalah Mukhtar Khairi alias Umar alias Herman. Semangat juang Mukhtar bangkit bersama kelompok kekerasan karena merasa umat Islam tengah dizalimi, tidak hanya di Indonesia tetapi berbagai wilayah di dunia. Mukhtar sendiri merupakan mantan narapidana terorisme yang telah bertobat dan bergabung bersama AIDA mengampanyekan perdamaian kepada masyarakat luas.
Baca juga Mukhtar Khairi, Makin Mantap Meninggalkan Ekstremisme Setelah Bertemu Korban
Mukhtar memiliki minat baca tinggi, berasal dari keluarga terdidik. Sejak kecil Mukhtar telah akrab dengan buku-buku. Bahkan menurut penuturannya, lemari sang ayah berisi banyak buku, baik berbahasa Indonesia maupun Arab. Ia pun mengaku menyukai buku Ihya’ ‘Ulumuddin, karya monumental ulama terkemuka, Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali (populer dengan Imam Ghazali). Mukhtar tumbuh dalam tradisi dan kultur dua ormas keagamaan arus utama di Indonesia. Ayahnya berasal dari kultur Nahdlatul Ulama, sementara ibunya adalah pengikut Muhammadiyah.
Ketika memasuki jenjang SMA, Mukhtar berkenalan dengan seorang kakak kelas di sekolah yang gemar mengikuti pengajian. Mukhtar pun diajak oleh kakak kandungannya sendiri untuk bergabung dengan pengajian tersebut. Ternyata pengajian itu cenderung eksklusif. Bukannya mendapatkan materi keagamaan, Mukhtar malah diajarkan tentang politik dan kondisi umat Islam di dunia yang tengah tertindas.
Baca juga Tiga Pesan Damai Mantan Ekstremis untuk Generasi Muda
Sebagai umat Islam, Mukhtar mendapatkan doktrin bahwa setiap umat Islam berkewajiban membalaskan dendam saudaranya yang tengah terzalimi di seluruh dunia. Mukhtar mulai tergugah rasa solidaritasnya sebagai bentuk semangat ukhuwah Islamiyah. Mulai saat itu, Mukhtar penasaran membaca buku-buku jihad, bahkan kerap mencari literatur yang membenarkan jihad sebagai kekerasan.
Pada tahun 2005, Mukhtar mendapatkan ujian dan musibah. Sang ibu meninggal dunia. Semenjak kepergian ibu, kerabat Mukhtar mulai sibuk dengan urusan hidup masing-masing. Saat ibunya masih hidup, keluarga besar Mukhtar kerap berkumpul, tak jarang menggelar rekreasi bersama. Namun setelah kepergian sang ibu, kebiasaan itu mulai luntur.
Mukhtar merasa kesepian. Dalam situasi kesendirian, ia makin rajin membaca buku-buku tentang jihad. Di samping itu juga kerap menonton video dokumenter tentang peperangan yang mengatasnamakan jihad sebagai perintah agama. Saat bersamaan mulai gemar menonton ceramah-ceramah Syaikh Abdullah Azzam, salah satu intelektual yang menyerukan kewajiban umat Islam dunia untuk berjihad di Afghanistan melawan invasi militer Uni Soviet (Rusia).
Baca juga Dulu Meracik Bom Kini Meretas Damai
Mukhtar seolah menemukan keluarga baru di pengajian eksklusif yang diikutinya. Ia merasa kerap mendapatkan asupan keimanan, atau apa yang disebut oleh teman-temannya sebagai charger iman. Semakin hari Mukhtar makin yakin bahwa umat Islam tengah dizalimi di berbagai wilayah di dunia. Bahkan di Indonesia yang mayoritas muslim, Islam juga ditindas.
Dalam pandangan Mukhtar, seharusnya umat Islam Indonesia berjihad melawan kezaliman yang menimpa saudara seagamanya, seperti di Afghanistan. Ia mulai membenci pemerintah dan aparat negara. Ketika menonton pemberitaan televisi tentang Satpol PP yang menggusur pedagang kaki lima, ia menilai tindakan itu sebagai kezaliman nyata terhadap umat Islam. Di masa itu, Mukhtar mengalami pergolakan pemikiran yang luar biasa.
Tak sekadar mengalami perubahan dalam pemikiran, cara berpakaian Mukhtar juga mulai berbeda dari kebanyakan temannya. Ia juga mulai membatasi diri berkumpul dengan keluarganya. (Bersambung)
Baca juga Kasih Sayang yang Tak Pantas Dinafikan