Penyintas Bom Mengejar Sarjana (bag. 2)

Berbeda dengan Jihan, Pipit, dan Desmonda yang memang berstatus mahasiswa saat terkena musibah ledakan bom, tiga orang berikut ini malah memutuskan untuk melanjutkan pendidikannya ke jenjang sarjana usai mengalami musibah Bom Kuningan 2004. Padahal kondisi fisiknya tak lagi sempurna, selain tentu saja usia yang “kelewat” mengingat sudah bertahun-tahun sebelumnya mereka lulus SMA.

Sudirman A Thalib 

Berbekal ijazah SMA, Sudirman merantau dari Bima Nusa Tenggara Barat ke Jakarta. Niatnya meningkatkan taraf diri dan membantu perekonomian keluarganya. Namun musibah menimpanya. Baru 4 bulan bekerja sebagai petugas keamanan di kantor Kedutaan Besar Australia Kuningan Jakarta Selatan, bom berkekuatan besar meledak sekira 10 meter dari posisinya berjaga. Ia terhempas. Tubuhnya penuh luka dan beberapa bagian tulangnya patah. Saking parahnya cedera, ia bahkan sempat dikasih tanda “MR X” di rumah sakit karena disangka telah tiada.

Baca juga Penyintas Bom Mengejar Sarjana (bag. 1)

Sudirman menjalani puluhan kali operasi untuk pemulihan fisiknya, di dalam maupun luar negeri. Meski belum sembuh benar, beberapa bulan kemudian ia kembali bekerja seperti sedia kala seraya rutin check up medis. Sekitar 3 tahun kemudian ia merasakan sakit di mata kirinya. Muncul pembengkakan dan air mata yang terus mengalir.

Setelah diperiksa dokter, rupanya ada serpihan material bom yang tertinggal dan menyebabkan kerusakan mata. Dokter terpaksa mengangkat mata kirinya. Walhasil Sudirman harus menjalani hidup dengan hanya satu mata. Tak berhenti di situ, beberapa tahun berikutnya ia divonis mengalami kerusakan saraf sehingga wajib mengonsumsi obat hingga waktu yang tak bisa ditentukan.

Baca juga Penyintas Bom Bali: Lawan Kekerasan dengan Menebar Kebaikan

Penderitaan bertubi-tubi menderanya, namun geloranya untuk mewujudkan niat awal merantau tak pernah surut. Sekitar 7 tahun pascamusibah, ia mendaftar kuliah di salah satu universitas swasta di Jakarta Selatan. Ia mengambil kelas karyawan agar tidak mengganggu kewajibannya mencari nafkah untuk istri, anak-anak, juga keluarganya di kampung halaman. Kini Sudirman telah menyandang gelar Sarjana Pendidikan Bahasa Inggris.

Syamsi Fahrul

Seperti Sudirman, Syamsi juga bekerja sebagai tenaga kemanan di kantor Departemen Pengusaha Kecil Menengah (sekarang Kementerian Koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah) RI. Kantornya terletak tepat di depan Kedubes Australia. 9 September 2004, pagi menjelang siang, Syamsi sedang berjaga di pintu keluar. Ia mengatur lalu lintas karena mobil Menteri baru saja keluar dari kantor.

Baca juga Kesetiaan Istri Korban Bom

Saat bom meledak, sontak Syamsi tiarap. Serpihan bom merobek dan masuk ke dalam perutnya. Ususnya terpaksa harus dipotong sepanjang 10 sentimeter. Selama sebulan penuh Syamsi mendapatkan perawatan khusus. Namun tiga bulan setelahnya, Syamsi kembali harus dioperasi karena mengalami infeksi. Oleh dokter, ususnya kembali dipotong.

Beberapa bulan kemudian Syamsi kembali masuk kerja dan berupaya menjalani hidup secara normal. Menurut dia, ada banyak hikmah dari musibah yang menimpanya. Ia tak mau merutuki keadaan, sebaliknya bersyukur masih diberikan kesempatan hidup dan meyakini apa yang terjadi adalah yang terbaik dari Tuhan.

Baca juga Penyintas Bom Kuningan: Bersyukur Masih Hidup (Bag. 1)

Syamsi merasakan bahwa Allah justru memberinya nikmat berlipat-lipat pascamusibah itu. Tahun 2007 ia memutuskan untuk menggapai mimpinya melanjutkan pendidikan ke jenjang kuliah. Dengan berbekal ijazah sarjana, ia kini berstatus aparatur sipil negara di Kemenkop dan UMKM RI.

Sutarno

Pagi itu ia keluar dari tempat kerjanya di Koperasi Karyawan Rumah Sakit MMC Jakarta Selatan untuk membeli sarapan. Tiba-tiba terjadi ledakan dahsyat sekira 300 meter dari arah depannya. Pecahan kaca dari gedung RS MMC yang berlantai tujuh menghujani tubuhnya. Butuh waktu 3 bulan untuk memulihkan kondisinya. Otomatis selama itu dia tak bisa bekerja. “Saya di rumah saja bersama istri dan anak. Sering meratapi nasib dan emosi mudah tersulut, jadi temperamental,” tutur pria kelahiran 1974 itu.

Baca juga Penyintas Bom Kuningan: Enggan Mendendam (Bag. 2-Terakhir)

Untuk menyembuhkan traumanya, Sutarno juga harus menjalani konseling. Sebagai kepala rumah tangga, ia harus segera bangkit, berupaya melupakan rasa sakit dan trauma, serta kembali bekerja.

Pada tahun 2015, di usia yang menginjak 41 tahun, Sutarno memutuskan untuk mendaftar kuliah di jurusan Pendidikan Guru Sekolah Dasar (PGSD). Menurut dia membagikan ilmu yang baik adalah amal yang tak terputus hingga akhirat. Jika telah lulus, Sutarno bertekad mengamalkan ilmunya dengan mengajar.

Baca juga Korban Bom Kuningan: Pulih berkat Keluarga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *