Dampak Ekonomi Terorisme
Oleh Akhwani Subkhi
Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Aksi pengeboman yang dilakukan kelompok teroris tidak hanya merenggut nyawa dan melukai siapa pun yang ada di sekitarnya, serta merusak apa pun di lokasi kejadian. Aksi tak berperikemanusiaan itu juga mengusik rasa aman dan kedamaian masyarakat luas. Lebih dari itu berdampak terhadap perekonomian, baik secara mikro maupun makro.
Negeri ini pernah beberapa kali diguncang teror bom, baik berdaya ledak tinggi (high explosive) maupun rendah (low explosive). Sependek pengetahuan penulis, setidaknya ada dua dampak ekonomi yang diakibatkan aksi terorisme. Pertama, penurunan pendapatan korban dan pihak-pihak terkait lainnya. Dalam kasus Bom Bali 2002 misalnya, para pekerja di kawasan Legian Kuta Bali harus kehilangan pekerjaan sekaligus pendapatan karena tempat kerjanya luluh lantak akibat ledakan. Bahkan ada salah satu restoran yang berhenti total setelah bangunannya hancur lebur.
Baca juga Menangkal Virus Ekstremisme Kekerasan
Peristiwa tersebut juga memukul sektor pariwisata dan perekonomian Pulau Dewata. Sejumlah negara, terutama yang warga negaranya menjadi korban bom, secara tegas melarang warganya mengunjungi Bali untuk sementara waktu. Bahkan wisatawan lokal pun ikut merasakan ketakutan untuk berkunjung ke sana. Padahal sektor pariwisata adalah tulang punggung perekonomian Bali. Ketika jumlah wisatawan merosot maka pelaku usaha apa pun juga mengalami penurunan penghasilan.
Usaha perhotelan misalnya. Sehari sebelum peristiwa ledakan, tingkat hunian hotel mencapai 70,27 persen. Namun 10 hari setelahnya, jumlah tamu hotel di delapan kawasan wisata di Bali menurun hingga 99 persen sehingga tingkat hunian hotel rata-rata hanya tinggal 1,13 persen dari jumlah kamar yang tersedia (Kompas, 17/11/2002).
Baca juga Melawan Virus Kebencian
Berdasarkan penelitian disertasi Ni Wayan Suriastini di UGM Yogyakarta (2010), selama 2,5 tahun pascatragedi Bom Bali, terjadi peningkatan jumlah pengangguran sebanyak 3,5 persen, penurunan jumlah jam kerja 4,2 persen, penurunan upah riil 47 persen, dan pendapatan rumah tangga menurun 22,6 persen. Dampak luas seperti itu mungkin tidak pernah terpikirkan oleh pelaku pengeboman. Tak sedikit masyarakat yang tidak menjadi korban secara fisik tetapi ikut terkena imbasnya.
Kedua, penurunan harga saham di pasar modal. Ketika terjadi ledakan bom terorisme, harga saham di pasar modal terdampak langsung. Tentunya sentimen negatif akan terjadi dari para investor di pasar saham karena adanya pelbagai kekhawatiran. Bisa saja investor langsung menarik modal atau menjual sahamnya di pasar. Misalnya dalam catatan bareksa.com, usai Bom Bali 2002, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Jakarta (kini Bursa Efek Indonesia) mengalami penurunan 10 persen ke level 337,47 dari sebelumnya 376,46.
Baca juga Rentan Menjadi Korban Terorisme
Sementara ketika terjadi ledakan Bom JW Marriott 2003, IHSG turun 3 persen ke level 488,52 dari level sebelumnya 503,94. Beruntung penurunan IHSG dalam dua kasus tersebut hanya berlangsung sehari. Begitu pun dengan kasus Bom Kedutaan Besar Australia Jakarta 2004 yang mengakibatkan IHSG turun sebesar 1 persen dari hari sebelumnya. Keesokan harinya IHSG berhasil pulih kembali.
Efek domino aksi teror di atas menunjukkan bahwa begitu bahayanya tindakan ini. Masih banyak efek-efek lainnya yang ditimbulkan dari aksi teror. Pemulihan dampak teror pun tidak sekejap mata, melainkan membutuhkan waktu dan proses tak mudah. Tentu kita berharap ke depan tidak ada lagi aksi-aksi kekerasan serupa di negeri ini. Semoga.
Baca juga Membangkitkan Empati