Paradoks Ekstremisme:
Belajar dari Perubahan Pandangan Napiter (Bag.2)
Selain negara Islam, ada beberapa idiom penting yang sangat terkait dengan ekstremisme kekerasan berbasis agama, yaitu thaghut, takfir, dan jihad. Pada dasarnya, semua istilah itu ada dalam khazanah keilmuan Islam. Namun persoalan muncul pada kontekstualisasinya. Tanpa memandang kondisi faktual sekarang, idiom-idiom tersebut diterapkan serampangan.
Indonesia dikategorikan sebagai negara kafir karena tidak berhukum Islam. Sedangkan thaghut dan penolong-penolongnya (anshar) dialamatkan kepada sistem dan aparat-aparat dalam negara kafir. Konsekuensi dari hal tersebut mereka harus diperangi atas nama jihad.
Baca juga Paradoks Ekstremisme: Belajar dari Perubahan Pandangan Napiter (Bag.1)
Cara berpikir demikian sangat kuat dianut oleh beberapa narapidana terorisme (napiter). Di antara yang telah berubah pandangan menyadari bahwa mereka telah menafsirkan ayat Al-Qurán dan hadis secara sepotong-sepotong, serta menolak pendapat dari ulama-ulama lain yang berbeda dari kelompoknya.
Pola demikian ditambahi dengan kebencian yang dikelola dengan justifikasi yang terperinci. Setiap pemahaman memiliki dalilnya sendiri. Ujungnya beberapa napiter telah melakukan aksi-aksi kekerasan yang menyebabkan korban. Walhasil penjara menjadi konsekuensi atas tindakan yang mereka lakukan.
Baca juga ‘Kepungan’ Menjaga Harmoni
Namun Lapas menjadi lokus penting yang memantik paradoks-paradoks pemahaman napiter. Ada kontradiksi antara fakta dengan keyakinan yang mereka anut selama ini. Beberapa napiter mengaku penjara sangat bermanfaat baginya karena membuka wawasan baru. Aturan-aturan yang berat dan ketat tidak menutup kesempatan atas perubahan yang lebih baik.
Manfaat tersebut mereka rasakan karena pembinaan-pembinaan yang dilakukan oleh petugas Lapas dilakukan dengan penuh kasih sayang dan keramahtamahan. Banyak kebaikan yang petugas berikan. Perlakuan baik petugas Lapas sangat berbanding terbalik dengan apa yang mereka pikirkan tentang aparat negara (ansharut thaghut) sebelumnya.
Baca juga Massiara’: Tradisi Bugis Menjaga Damai
Bahkan ketika napiter sakit, para petugas ikut merawat dan memfasilitasi pengobatannya hingga sembuh. Keteladanan ini mendorong napiter untuk berpikir ulang tentang pemahamannya selama ini. Dimulai dengan sikap tidak memusuhi petugas Lapas, berkembang pada pemahaman bahwa muslim wajib membalas kebaikan dengan kebaikan.
Perlahan mereka berubah berdasarkan pengalaman yang terjadi secara sadar (disonansi kognitif), salah satunya dengan melihat kebaikan petugas. Elemen penting perubahan diuji ulang oleh mereka sendiri. Mulai dari membaca kembali buku-buku keislaman dan membandingkan dengan pendapat ulama-ulama yang berbeda, kemudian berdiskusi dengan teman yang sudah berubah terlebih dahulu.
Baca juga Berdamai dengan Ketidaksukaan
Mereka menguji ulang banyak praktik penyimpangan para ekstremis yang dilakukan atas nama agama. Bahwa jihad bukan hanya diartikan dengan perang, dengan menganalogikan ketika Rasulullah di Mekah tidak pernah melakukan jihad (perang), melainkan berdakwah dengan akhlak dan keteladanan. Bahkan ketika diperangi beliau tidak melawan dengan kekerasan yang sama.
Jihad lebih tepat dilakukan di negara-negara konflik, di mana umat Islam tidak bebas untuk beribadah atau sedang diperangi. Dalam konsep marhalah jihad, jihad adalah jalan terakhir untuk ditempuh. Diplomasi harus diutamakan.
Konsep lain yang diuji ulang adalah Islam bukanlah agama kekerasan. Islam adalah agama dakwah dan keteladanan sehingga menjadi rahmat bagi yang lain. Yang paling penting dalam berjuang harus memiliki pijakan ilmu yang kuat. Cara untuk mencapai tujuan baik harus dilakukan dengan cara-cara yang baik pula. (Bersambung)
Baca juga Falsafah Bugis untuk Perdamaian Bangsa