12/11/2021

Apologi Takdir: Memahami Penyintas Bom dalam Rukun Iman (Bag.1)

Setiap muslim harus mengimani enam rukun. Dari mulai iman kepada Allah SWT sampai iman kepada qadha dan qadar atau secara umum disebut dengan takdir. Takdir diambil dari kata qadar yang bermakna ketentuan. Bahwa Allah SWT telah menentukan segala sesuatu tentang makhluk-Nya dari awal sebelum diciptakan sampai akhir setelah diciptakan, baik yang ada di bumi atau di langit.

Ketetapan takdir ini juga memiliki tahapan-tahapan yang harus diimani dan dipahami. Pertama, bahwa Allah SWT memiliki pengetahuan atas apa yang ditetapkan sebelum dan sesudah mencipta. Dalam beberapa istilah disebut ‘ilmullah as sabiq yaitu ilmu Allah mendahului penciptaan-Nya. Allah jelas mempunyai tujuan saat menciptakan setiap makhluk, tidak sekadar asal menciptakan.

Baca juga Urgensi Ukhuwwah dan Bahaya Perpecahan

Kedua, ilmu yang berkaitan tentang makhluk tersebut dicatat di lauhul mahfudz. Yang perlu dipahami adalah bahwa catatan tersebut tidak akan berubah, sebagaimana keterangan Nabi SAW “Pena telah diangkat dan lembaran catatan telah kering.”

Ketiga, takdir adalah kehendak Allah. Tidak ada yang keluar dari kehendak-Nya, baik itu yang bersifat baik atau buruk. Namun yang harus dipahami, sesuatu yang buruk tersebut adalah sebagai hikmah dan pelajaran bagi manusia itu sendiri. Sebagai contoh, Allah menciptakan bencana. Meskipun bersifat kerusakan namun ada pelajaran di baliknya, yaitu agar manusia merasakan apa yang telah diperbuatnya dan tidak mengulanginya lagi.

Baca juga Mengimani Takdir

Keempat, setelah berkehendak maka Allah pun menciptakan makhluk-Nya sesuai kehendak. Misalnya Allah menciptakan manusia dan semua yang ada di dalamnya, termasuk jasad, ruh, kemampuan, dan lainnya. Tidak ada yang keluar sedikit pun selain dari rencana-Nya.

Dalam konteks takdir tersebut, manusia juga memiliki kehendak, tapi tidak dipaksakan. Sebagai contoh manusia memiliki kehendak untuk makan ataupun tidak, mempunyai pilihan untuk taat ataupun tidak, semua bebas dengan pilihannya masing-masing. Namun kehendak manusia tersebut tetap di bawah kehendak Allah. Selain itu manusia juga mempunyai qudroh atau kemampuan, tapi tetap di bawah kemampuan Allah. Sebagai contoh manusia berkeinginan sehat. Namun jika Allah berkehendak sakit, maka manusia tidak bisa berbuat apa pun.

Baca juga Ketangguhan Penyintas Bom Kuningan, Ram Mahdi Maulana: dari Amarah Menuju Pemaafan

Pertanyaan yang muncul adalah bagaimana menempatkan peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh kelompok ekstremis dan berakibat buruk terhadap korban sebagai sebuah takdir? Banyak peristiwa kekerasan seperti pengeboman atau penembakan yang terjadi di Indonesia berdampak pada korban tak bersalah.

Di sini akan digambarkan salah satu contohnya yaitu Iswanto Kasman, korban Bom Kuningan 2004. Pria asli Wonogiri Jawa Tengah ini menderita cedera parah di sekujur tubuhnya, salah satunya di mata kanannya. Serpihan yang menancap merusak mata kanannya. Walhasil ia harus menjadi disabilitas karena bola matanya harus diangkat. Selain Iswanto, masih banyak kisah korban lain yang perlu diperhatikan. Banyak anak kehilangan orang tua, istri kehilangan suami, dan lainnya.

Baca juga 16 Tahun Bom Bali 2005: Kesakitan Menuju Kebangkitan

Atas segala penderitaan yang dialaminya, Iswanto memang sempat marah terhadap para pelaku pengeboman. Namun seiring waktu, ia menyadari bahwa kemarahan itu justru membuatnya bertambah sakit. Perlahan ia berusaha ikhlas menerima musibah yang menimpanya sebagai takdir Allah dan bersyukur karena masih bisa menggunakan mata kirinya.

Lantas bagaimana para pelaku terorisme menyikapi musibah yang menimpa korban-korban tak bersalah itu? Penulis akan membahasnya di seri berikutnya. (Bersambung)

Baca juga Tangis Ketangguhan Penyintas

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *