16/12/2021

Keterbatasan Akal Memahami Musibah

Adalah kewajiban meyakini bahwa semua yang terjadi pada makhluk tidak lepas dari kehendak-Nya. Salah satu kehendak Allah adalah takdir baik dan buruk. Hampir tidak ada yang mengingkari takdir yang bersifat baik. Artinya setiap kebaikan yang datang pasti setiap manusia mengatakan hal tersebut adalah takdir atau kehendak-Nya. Sebaliknya, ada beberapa orang yang belum yakin atau menanyakan takdir buruk.

Membaca keburukan dalam konsep takdir harus dilihat dari dua sisi. Pertama, Allah memang sengaja mengizinkan keburukan terjadi di alam ini, misalnya bencana, penyakit, kemiskinan, kesengsaraan, atau bahkan kejahatan. Allah menciptakan iblis, Firaun, dan lainnya sebagai sosok makhluk keburukan. Kedua, di balik keburukan tersebut pasti ada hikmah yang juga sengaja Allah kehendaki. Artinya tetap ada kebaikan di baliknya. Itulah yang disebut hikmah.

Baca juga Apologi Takdir: Memahami Penyintas Bom dalam Rukun Iman (Bag.1)

Sebagian hikmah bisa diterima dengan akal. Namun sebagian tidak bisa dibaca hanya dengan akal melainkan dengan iman atau keyakinan. Mungkin sebagian orang masih sering berucap ketika ditimpa musibah dengan sebuah pertanyaan, “Mengapa ini terjadi pada saya? padahal saya sudah berbuat baik?”

Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya bisa dijawab dengan keimanan kuat. Sebagai contoh yang dialami oleh Mulyono, korban Bom Kuningan tahun 2004. Ia mengalami luka sangat serius akibat ledakan tersebut. Rahangnya hancur sehingga harus dioperasi berkali-kali.

Baca juga Apologi Takdir: Menjadi Korban Bukan Keniscayaan (Bag.2-Terakhir)

Mulyono harus merasakan sakit yang luar biasa karena dokter mengambil tulang pahanya untuk dicangkok menjadi rahang baru. Operasi pertama gagal, karena konstruksi rahangnya terlalu berat. Tak ayal harus dilakukan operasi kembali untuk merekonstruksi agar lebih seimbang. Rasa sakit yang Mulyono alami saat dan setelah operasi membuatnya hampir putus asa. Bahkan ia sempat sampai pada titik menyalahkan Allah atas apa yang terjadi. Pasalnya ia merasa tidak pernah melanggar larangan-Nya.

Dalam konteks tersebut, pada akhirnya akal dan indera manusia memiliki keterbatasan dalam memahami takdir Allah. Untuk itu takdir merupakan sesuatu yang tidak ada satu makhluk pun yang mengetahuinya, bahkan nabi dan malaikat sekali pun.

Baca juga Urgensi Ukhuwwah dan Bahaya Perpecahan

Karena hal tersebut, ada beberapa manfaat mengimani takdir baik ataupun buruk. Jika seseorang diberikan kenikmatan maka dilarang sombong, sebab semua adalah ketentuan-Nya. Sebaliknya jika yang datang adalah musibah, maka jangan terlalu bersedih apalagi sampai putus asa, karena itu telah tercatat di lauhul mahfudz, bahkan sebelum manusia diciptakan. Dan yang terpenting pasti ada hikmah di balik itu.

Perlahan Mulyono mulai menyadari bahwa semua yang terjadi pada dirinya adalah kehendak Allah. Ia akhirnya selalu bersyukur karena masih diberi kesempatan hidup dan selalu berusaha istiqamah menjalankan ibadah kepada Allah. Apa yang dialami oleh Mulyono bisa menjadi pelajaran bahwa dalam menjalani hidup, terutama ketika mendapatkan keburukan, seperti musibah atau yang lainnya, membutuhkan keimanan yang sesungguhnya. Keyakinan kuat bahwa Allah selalu menghendaki kebaikan saat akal memiliki keterbatasan dalam memahami takdir. Wallahu a’lam.

Baca juga Mengimani Takdir

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *