Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 2-Terakhir)

Dua tahun sebelum peristiwa bom yang merenggut nyawa suami Yuni Arsih dan Wartini, aksi tak berperikemanusiaan juga terjadi di Pulau Dewata. Bom berdaya high explosive menerjang kawasan Legian, Kuta, Bali, pada 12 Oktober 2002. Banyak perempuan harus kehilangan suaminya akibat peristiwa yang terkenal sebagai Bom Bali 2002 itu. Mereka dituntut untuk berjuang hidup demi masa depan anak-anaknya. Di antara para perempuan tangguh itu ada nama Nyoman Rencini dan Ni Wayan Rasni Susanti.

Nyoman Rencini

Sang suami, Ketut Sumerawat, meninggal dunia di lokasi kejadian. Jasad suaminya ditemukan dalam kondisi nyaris tak dapat dikenali. Rencini terpuruk, bahkan sempat terbersit keinginan untuk mengakhiri hidup saja. Namun ketika melihat ketiga buah hatinya yang masih kecil, niat itu urung dilakukannya. Rencini tak mau meninggalkan kewajiban sebagai orang tua: mengasuh, menafkahi, dan mendidik anak-anaknya.

Baca juga Perjuangan Korban Bom Menjadi Ibu Tunggal (Bag. 1)

Ia berjanji pada diri sendiri untuk bangkit dan tidak mau larut dalam kesedihan. Anak-anaknya harus tetap hidup dan melanjutkan pendidikan. “Yang meninggal itu tidak bangkit lagi, tapi saya sama anak-anak harus melanjutkan hidup. Saya ingin menyekolahkan anak-anak saya biar lebih pintar melebihi saya dan ayahnya,” tutur Rencini dalam salah satu kegiatan AIDA.

Sangat berat menjadi orang tua tunggal sekaligus tulang punggung keluarga. Namun tekad kuat Rencini mengalahkan segalanya. Ia bertekad mengantarkan buah hatinya melanjutkan pendidikan sampai jenjang yang layak. Saat ini, anak pertama telah lulus SMA dan bekerja. Sementara anak kedua dan ketiga sedang melanjutkan studi perguruan tinggi sembari bekerja membantu perekonomian keluarga.

Baca juga Penyintas Bom Kuningan Berjuang Melawan Trauma

Dalam kegiatan kampanye perdamaian AIDA di beberapa SMA, Rencini memberi pesan kepada generasi muda untuk semangat belajar dan pantang menyerah mengejar cita-cita. “Kalian harus bersekolah dengan rajin, dapat nilai yang bagus, karena itu akan memosisikan kalian ke tempat yang bagus nantinya.”

Ni Wayan Rasni Susanti

I Made Sujana juga bernasib sama dengan Ketut Sumerawat. Hingga hari kedua belas pascaperistiwa, Rasni dan keluarga tak kunjung mendapatkan kejelasan keberadaan suaminya. Ia pun mengikhlaskan kepergian suami dan memutuskan menggelar upacara Ngaben (ritual mengantar jenazah bagi umat Hindu) untuk melepas kepergian suami. Baru pada tahun 2004, jasad Made Sujana teridentifikasi.

Baca juga Sempat Diduga Pengebom, Keluarga Korban Bangkit dari Kesedihan

Kehilangan suami menjadi pukulan besar bagi Rasni dan keluarga. Ketiga anaknya menunjukkan perubahan sikap setelah kehilangan sosok ayah. Anaknya yang pertama acap terlihat sedih padahal sebelumnya periang. Anaknya yang kedua kerap marah ketika melihat Rasni menonton televisi. “Ibu jangan nonton lagi. Dia nangis, masuk kamar lalu mengunci pintu,” tuturnya mengenang.

Sementara anak ketiganya yang masih berusia tiga tahun saat ayahnya tiada, dengan polosnya selalu menanyakan kapan ayahnya pulang. Menghadapi situasi yang berat, Rasni tak menyerah. Ia mendatangi sejumlah tempat untuk melamar pekerjaan. Namun ternyata tak mudah mendapatkan pekerjaan.

Baca juga Penyintas Bom Bali Menjadi Ibu Sekaligus Bapak

Ia lantas memutuskan berdagang pakaian secara keliling. Hal yang selalu menguatkan langkah kakinya adalah cita-cita mendiang suami yang ingin semua anaknya bisa mengenyam pendidikan tinggi. Mimpi suaminya menjadikan langkah Rasni lebih kuat. Proses mencari nafkah, membesarkan anak, dan memulihkan diri berjalan secara bersamaan.

Baca juga Penyintas Bom Bali Menjadi Bapak Sekaligus Ibu

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *