Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 6-Terakhir)
Artikel berikut adalah bagian terakhir serial kisah ketangguhan dan kebangkitan dua puluh penyintas terorisme dari lintas negara. Redaksi menerjemahkan dan menyarikannya dari situs Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Kigozi Victor Zac (Uganda)
Ia dan teman-temannya sedang berkumpul di lapangan rugbi Kyadondo di Kampala, Uganda, untuk menonton final Piala Dunia sepak bola melalui layar kaca. Itu berlangsung pada 11 Juli 2010. Menjelang pertandingan berakhir, dua bom meledak dengan sangat kencang dan menghancurkan lapangan rugbi. Kigozi terluka namun temannya ada yang meninggal dunia.
Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 1)
Meski telah menjalani tiga kali operasi, ia tak bisa sembuh secara fisik. Tiga tahun pertama setelah peristiwa itu, ia mengalami trauma sehingga tak mampu berada di tempat yang ramai. Dukungan dan dorongan dari teman-temannya adalah bagian penting dalam proses penyembuhannya.
Teman-teman dan rekan kerjanya memberikan bahu untuknya bersandar, menghibur dan memeluknya, sehingga ia memilih untuk keluar dari masa lalu dan menciptakan hari barunya. Ia kembali bekerja sebagai sales assistant. Perlahan melalui pengalaman-pengalaman positif, ia mengumpulkan semangat untuk kembali hidup.
Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 2)
Thelma Stober (Inggris)
Ia mengalami luka parah akibat serangan bom di London pada 7 Juli 2005. Aksi itu menewaskan 52 orang tidak bersalah dan melukai ratusan lainnya. Thelma kehilangan anggota badan bagian kiri. Tak ayal hidupnya berubah untuk selamanya.
Meski demikian ia memandang bahwa dinya masih memiliki pekerjaan yang harus dilakukan. Ia harus kuat untuk menentang niat para teroris. Sejak saat itu dia membuat tujuan hidup, yaitu mengadvokasi para korban terorisme.
Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 3)
Ia bekerja tanpa henti membantu menciptakan perbedaan positif pada kehidupan orang-orang yang telah berubah karena terorisme ataupun bencana lainnya. Pekerjaan tersebut membuat setiap detik hidupnya terasa berarti.
Amy O’Neill (Amerika Serikat)
Pada 15 april 2013, ia baru saja berlari melewati tanda 26 mil perlombaan maraton di Boston. Garis finish mulai terlihat. Tiba-tiba terdengar suara keras. Ia menyadari bahwa hal buruk telah terjadi. Beberapa detik setelahnya ledakan kedua terjadi. Dalam sekejap, dunianya telah berubah untuk selamanya. Ia berpikir dirinya akan mati dan meninggalkan dua putranya tanpa seorang ibu.
Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 4)
Ia harus menjalani operasi pada betis untuk mengambil serpihan yang masuk. Setelah pulih ia bertekad untuk mengembalikan hidupnya, meski tidak mungkin bisa betul-betul kembali. Baginya perubahan adalah tentang mendefinisikan ulang, membangun ulang, dan melakukan perubahan setelah dihancurkan oleh terorisme –tentang bagaimana mengubah, bertumbuh, dan menerima kehilangan atas dirinya yang dulu.
Banyak hal telah berubah, tetapi tidak melulu buruk. Pada beberapa hal kehidupannya menjadi lebih baik, dan dia menjadi orang yang lebih baik.
Sumber 1 Klik Disini
Sumber 2 Klik Disini
Baca juga Mereka yang Menolak Takluk (Bag. 5)