Habitus Perdamaian: Belajar Dari Penyintas (Bag. 1)
Hairil Islami sedang berada di salah satu Coffee Shop Jalan MH. Thamrin Jakarta Pusat, 14 Januari 2016 pagi. Saat masih sibuk mengerjakan tugas kuliahnya, terdengar ledakan keras tak jauh dari tempatnya duduk. Awalnya ia tak yakin mengenai sumber ledakan. Saat sejumlah orang berteriak “bom… bom…bom…,” spontan ia berlari keluar gedung. Ia tak menyadari bajunya terkoyak hingga compang-camping dan daging di bagian tangannya terkelupas.
Dari pemeriksaan medis, ia mengalami patah tulang di bagian tangan, luka robek, dan beberapa sayatan akibat pecahan kaca di punggung. Walhasil ia harus menjalani beberapa operasi dan perawatan untuk menyembuhkan lukanya. Selain fisik, dampak lain yang ia alami adalah trauma. Hubungan sosialnya juga sempat terganggu. “Pada saat itu teman saya tidak mau mendekati saya, karena luka ini,” ujarnya.
Baca juga Memahami Rencana Tuhan
Perlahan tapi pasti, Hairil banyak mengambil hikmah dari peristiwa tersebut, terutama ketika ia dipertemukan dengan sejumlah mantan pelaku terorisme. Permintaan maaf mantan pelaku yang tulus membuat Hairil membuka pintu hatinya. Saat ini Hairil telah bergabung dengan Tim Perdamaian AIDA untuk mengampanyekan perdamaian ke semua elemen masyarakat. “Biarlah saya dan teman-teman yang merasakan sakitnya menjadi korban. Diharapkan dari kejadian ini adalah mendapatkan dunia dan Indonesia yang lebih damai,” tuturnya.
Baca juga Ketegaran Korban Bom Kuningan
Salah satu poin yang bisa diambil dari kisah Hairil adalah habitus yang harus dilakukan untuk membangun perdamaian. Habitus secara sederhana bisa diartikan sebagai kebiasaan yang menempel pada tujuan yang ingin dicapai, sebagai contoh perdamaian. Perdamaian bukanlah sesuatu yang diberikan (given), tapi merupakan hasil dari habitus yang diusahakan.
Memaafkan adalah habitus penting untuk mencegah konflik. Kendati memaafkan begitu mudah diucapkan, sulit untuk dilakukan. Oleh karena itu perlu ditekankan bahwa memaafkan adalah faktor utama dari habitus atau kebiasaan untuk terciptanya perdamaian yang sesungguhnya.
Baca juga Berjuang untuk Sesama Korban Bom
Sebagai korban langsung dari peristiwa Bom Thamrin, Hairil telah menjalankan habitus tersebut. Ia memaafkan pelaku, bukan hanya sebatas lisan. Contoh ketika bertemu dengan mantan pelaku terorisme, tidak ada lagi dendam yang ia rasakan, sehingga hatinya menjadi damai. Dari sini perdamaian terwujud dengan sesungguhnya.
“Awal-awal saya memang merasa emosi dan dendam. Saya pikir itu manusiawi. Mendengar kata teroris itu, saya sama ratakan. Bahwa semua teroris adalah pelaku Bom Thamrin. Namun setelah bertemu dan berdialog, mereka punya itikad baik untuk meminta maaf. Maka sebagai sesama muslim, saya juga harus memaafkan,” ujarnya dalam salah satu kegiatan AIDA.
Baca juga Penderitaan Ganda Korban Terorisme
Meskipun habitus lahir dalam kondisi sosial tertentu dan merupakan proses yang panjang, ia bisa dialihkan ke kondisi sosial yang lain, karena wataknya yang transposable; sangat mungkin menular ke individu-individu lain. Karena habitus memaafkan ini menjadi cara penyelesaian yang baik, sangat mungkin bisa ditranformasikan ke orang lain. Begitu juga apa yang dilakukan oleh Hairil dan teman-teman korban terorisme lainnya. Mereka bergabung dalam Tim Perdamaian AIDA untuk bersama menyebarkan kebiasaan memaafkan. Tujuannya agar perdamaian selalu tercipta di lingkungan kita.