09/08/2020

Kehancuran di Balik Egoisme

Oleh: Faruq Arjuna Hendroy
Alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Dalam interaksi sosial, kita biasa melihat berbagai macam karakter manusia; dari yang menyenangkan hingga yang menyebalkan. Berbicara tentang karakter yang menyebalkan, tampaknya hampir semua orang setuju bahwa egoisme adalah salah satu contoh paling banyak ditemui, entah dalam relasi keluarga, maupun dalam lingkungan sosial bermasyarakat.

Para ahli menjelaskan makna egoisme. Namun secara umum, dalam bahasa yang sederhana, egoisme berarti sebuah sikap yang hanya mementingkan diri sendiri. Baik buruknya suatu perkara didasarkan atas pandangannya semata. Sementara jika orang lain memberikan pandangan yang berbeda, maka sudah pasti langsung dicap salah. Orang yang egois selalu berusaha untuk mendominasi dan memaksa orang lain mengikuti keinginannya.

Baca juga Berkurban dalam Pengorbanan Corona

Pada dasarnya, tidak ada yang melarang kita memiliki keinginan pribadi. Setiap orang berhak memenuhi kepentingannya masing-masing. Namun, dalam interaksi sosial, kepentingan pribadi akan selalu dibatasi oleh kepentingan bersama. Pastinya demi kemaslahatan publik. Bagi orang yang egois, yang berlaku justru sebaliknya. Kepentingan pribadinya harus di atas kepentingan bersama. Ia akan bersikap cuek dan mengabaikan orang lain.

Oleh karena itu, tak jarang egoisme merusak hubungan bermasyarakat. Pada tahapan yang paling berbahaya, egoisme dapat bersifat destruktif. Klaim ini dibuktikan dari egoisme dalam beragama yang telah mendorong segelintir pihak melakukan aksi-aksi kekerasan yang menyebabkan kerusakan, bahkan merenggut nyawa dan mencederai orang tak bersalah.

Baca juga Menagih Kehadiran Negara untuk Korban Lama (Bag. 1)

Mereka tidak serta merta menjadi pelaku kekerasan. Tidak ada seorang pun di dunia yang lahir langsung menjadi pelaku kekerasan. Ada proses yang dialami hingga tega melakukan kebrutalan serta kekejaman. Dan itu semua bermula dari egoisme dalam beragama, merasa diri atau kelompoknya yang paling tepat memahami ajaran agama, sehingga menyalahkan orang-orang yang tidak sejalan dengannya, bahkan menyematkan vonis kafir.

Egoisme dalam beragama telah menutup pintu dialog. Kebenaran telah dikooptasi oleh pihaknya sendiri. Pilihan yang disodorkan kepada orang lain hanya dua; mengikuti atau diperangi. Mereka alergi dengan alternatif pandangan lain yang mungkin saja lebih benar dari apa yang mereka yakini. Egoisme benar-benar telah membutakan. Hingga demi sekadar memuaskan hasrat, mereka tidak peduli jika harus menumpahkan darah orang lain.

Baca juga Menagih Kehadiran Negara untuk Korban Lama (Bag. 2)

Kondisinya akan menjadi lebih buruk tatkala egoisme menjangkiti dua pihak yang tengah berseteru; tidak ada yang mau mengalah. Kedua belah pihak sama-sama merasa benar, enggan menurunkan ego untuk sekadar duduk bersama mencari solusi dari permasalahan. Akibatnya, terjadilah konflik terbuka yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban dari kedua belah pihak. Semakin lama mereka memendam ego, kian lama pula konflik itu berlangsung. Jumlah korban yang berjatuhan pun semakin berlipat ganda.

Baca juga Media Sosial sebagai Sarana Perdamaian

Egoisme tentu bertentangan dengan nilai-nilai keislaman yang selalu mengajarkan kita untuk saling mengasihi satu sama lain. Di samping itu, egoisme juga merusak pondasi keumatan yang dibangun atas semangat ukhuwah islamiyyah maupun ukhuwah insaniyyah. Bagaimana mungkin kita akan menjadi umat yang bersatu, jika karena berbeda paham saja saling menghancurkan. Padahal dengan bersatu, akan ada banyak hal positif yang bisa kita gapai. Waktu yang kita pakai untuk saling baku hantam alangkah lebih bermanfaat digunakan untuk berdialog.

Saat negara lain sudah meneliti bagaimana cara menjelajahi antariksa, warga  kita acapkali meributkan banyak hal sepele, yang tidak jelas apa manfaatnya kehidupan kebangsaan. Sungguh sangat disayangkan bukan?

Baca juga Agen Sosialisasi Perdamaian

Oleh sebab itu, dibanding memupuk egoisme, hendaklah kita menumbuhkan semangat altruisme; sikap yang lebih memprioritaskan kepentingan bersama ketimbang kepentingan pribadi. Kita bisa memulainya dari hal-hal kecil.

Misalkan, di masa pandemi Covid-19 ini, kita bisa menekan ego kita yang menolak memakai masker dan menjaga jarak demi kesehatan bersama. Sederhana. Namun dengan belajar dari hal kecil tersebut, sedikit demi sedikit kita akan terbiasa mengendalikan ego, agar terhindar dari petaka yang bernama kehancuran.

Baca juga Guru sebagai Penggerak Perdamaian

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *