26/03/2021

Kritik Diri Bekal Pertobatan Ekstremis

Apa yang sebenarnya terjadi saat mantan anggota kelompok terorisme berubah menjadi aktivis perdamaian? Kesimpulannya bisa banyak faktor. Setiap orang memiliki cara belajar dan jalan berbeda menuju pemahaman yang damai. Namun jika dikaji dari perspektif psikologi, maka kita akan menemukan beberapa hal kunci, salah satunya adanya kritik diri (self-criticism).

Tanpa kritik diri, mantan anggota kelompok terorisme tidak mungkin bisa menyingkirkan doktrin kebencian dan kekerasan yang sangat lama diyakininya sebagai kebenaran. Misal yang terjadi pada Kurnia Widodo. Sejak masih bersekolah di bangku SMA, ia diajarkan untuk membenci dan mengafirkan orang-orang yang berbeda pandangan dengannya. Namun ia lantas menyadari bahwa ajaran tersebut telah membawanya ke jalan kekerasan.

Baca juga Fase-Fase Hijrah; Belajar dari Mantan Ekstremis

“Saya belajar bahwa kita tidak boleh mengafirkan orang lain. Jika sudah mulai mengafirkan orang lain, maka kita bisa terjebak dalam paham kekerasan,” ujar Kurnia dalam salah satu kegiatan bersama AIDA.

Kritik diri merupakan bentuk evaluasi individual. Kritik diri sering membantu memfasilitasi proses belajar dari kesalahan masa lalu. Juga dapat membantu ketika seseorang mencoba untuk mengatasi kelemahan atau kebiasaan yang tidak diinginkan.

Baca juga Isra’ Mi’raj dan Spirit Kedamaian

Thompson dan Zuroff (2004) mengembangkan The Levels of Self-Criticism Scale. Mereka menemukan dua dimensi kritik diri, yaitu komparatif dan internalisasi. Kritik diri komparatif biasanya dengan membandingkan diri sendiri dengan orang lain dan menemukan kekurangan diri sendiri. Orang yang mengkritik diri sendiri dengan cara ini cenderung mendasarkan harga diri mereka pada persepsi orang lain tentang mereka dan mungkin memandang orang lain.

Dimensi kritik diri internalisasi melibatkan perasaan bahwa seseorang memiliki kekurangan dalam beberapa hal. Bahkan kesuksesan pun dapat dipandang sebagai kegagalan. Dalam konteks mantan anggota kelompok terorisme seperti Kurnia, perjumpaannya dengan korban terorisme menumbuhkan kritik diri komparatif dan internalisasi.

Baca juga Mencintai Diri Kunci Kebangkitan

Dari sisi komparatif, bertemu dan mendengarkan kisah korban yang menderita sedemikian parah namun masih sanggup memberikan maaf padanya, hati Kurnia tersentuh. Kurnia bahkan tidak sanggup membayangkan bila dirinya yang menjadi korban. Ia ragu apakah masih bisa memberikan maaf atau tidak. Pemaafan para korban semakin menguatkan komitmennya kembali ke jalan perdamaian dan mengecam tindakannya dan kelompoknya yang dulu.

Sedangkan dari sisi internalisasi, saat melihat kondisi korban terorisme, Kurnia menyesali perbuatannya yang mengatasnamakan agama. Idealisme jangka panjang mendirikan negara Islam di Indonesia agar semua orang mendapatkan kebaikan, mendadak hancur karena faktanya justru mengorbankan banyak orang yang tidak bersalah. Fakta tersebut mengusik sisi kemanusiaan dirinya.

Baca juga Memilih Guru Damai

Meski dalam pandangan psikologi, orang yang seringkali melakukan kritik diri digolongkan dalam depresi skala ringan, namun dukungan sosial dari orang-orang terdekat dan masyarakat mampu membuat mantan anggota kelompok terorisme membentuk diri mereka dengan kepribadian yang lebih baik. Dukungan orang-orang terdekat dan masyarakat tersebut bisa dari komunitas masyarakat sipil seperti AIDA, korban terorisme, keluarga maupun sesama mantan anggota kelompok terorisme yang lebih dulu bertobat.

Tidak banyak orang yang mampu dan mau melakukan kritik diri, karena beberapa kasus menunjukkan adanya pertikaian dalam diri dan kebencian pada diri. Kurnia dan mantan anggota kelompok terorisme lain yang telah bertobat adalah contoh baik bagaimana menyelesaikan persoalan diri untuk memberikan kebutuhan dasar kita sebagai manusia, yaitu perdamaian.

Baca juga Menjaga Lingkaran Terdekat

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *