Meneladani Pemaafan Nabi
Aliansi Indonesia Damai- Ledakan bom di depan Kedutaan Besar Australia pada 9 September 2004 menjadi peristiwa yang nyaris mustahil dilupakan oleh Josuwa Ramos. Seperti hari-hari sebelumnya, Josuwa saat itu tengah melakukan tugasnya sebagai bagian dari tim keamanan Kedubes. Ia mendapatkan tugas berjaga di bagian dalam pagar gedung Kedubes di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Tanpa disangka, ledakan besar terjadi. Josuwa terlempar bersama teman seprofesinya.
Beberapa saat setelah berhasil menenangkan diri, Josuwa menolong rekannya yang mengalami cedera parah. Ia memapahnya menuju Rumah Sakit Metropolitan Medical Centre (MMC) yang berjarak sekitar 50 meter dari Kedubes. Setelah memberi pertolongan, Josuwa berniat kembali ke lokasi ledakan untuk menolong korban lainnya. Sayangnya niat baik itu urung dilakukan karena tiba-tiba badannya terhuyung, kakinya tak sanggup menopang tubuh.
Baca juga Menjadi Penggerak Penyintas
Ternyata bagian lututnya telah terluka parah lantaran terkena serpihan bom. Ia pun mendapatkan perawatan medis di rumah sakit. “Ternyata ada logam yang masuk ke dalam tempurung lutut. Setelah menjalani operasi bedah, saya diperbolehkan pulang. Saat itu rawat inap diprioritaskan bagi korban yang terluka parah,” kata ayah dari tiga anak ini.
Pascaoperasi kecil itu, ia pun kembali ke rumah. Beberapa hari kemudian Josuwa mengalami demam. Suhu badannya naik cukup tinggi. Kakinya makin membengkak dan tidak bisa berjalan. Josuwa pun menjalani perawatan di dua rumah sakit, yakni di Indonesia dan Singapura. Hasil pemeriksaan medis menemukan adanya serpihan di persendian kaki (engsel lutut) dan justru berpotensi menyebabkan lumpuh jika dicabut. Josuwa memutuskan membiarkan serpihan itu tetap di tubuhnya bersama serpihan lain di bagian pundaknya.
Baca juga Bangkit Berkat Dorongan Keluarga dan Kolega
Dalam salah satu forum yang diselenggarakan AIDA, Josuwa menuturkan, selama masa pengobatan kesabarannya kerapkali diuji . Saat fisiknya masih cedera, dia dihadapkan pada perkataan nyinyir salah seorang tetangganya. Josuwa dianggap layak menjadi korban lantaran bekerja di tempat orang kafir.
Meskipun demikian, setiap cobaan yang datang kepadanya, ia hadapi dengan keikhlasan dan kesabaran. Josuwa memang sempat menaruh dendam, namun ia senantiasa mengingat bahwa seorang muslim haruslah bersabar, kuat, dan mampu memaafkan kesalahan orang lain. Hal itu ia dapatkan dari kisah Rasulullah Muhamaad Saw yang memilih jalan permaafan, bahkan memilih berbuat baik kepada pihak-pihak yang menyakiti beliau.

Sikap luhur itu ia pelajari dari akhlak dan teladan Nabi Muhammad Saw. Ia juga membaca sejumlah buku serta mendapatkan nasihat dari guru-guru yang mengajarkan tentang agama Islam kepadanya. Menurut dia, Rasulullah adalah sosok pribadi pemaaf walaupun kerapkali dizalimi. “Saya belajar Islam dari guru-guru saya. Dari sana saya belajar kisah Nabi Muhammad Saw, bahwa Nabi saja memaafkan. Meski tidak bisa sempurna, tetapi saya mencoba untuk mengikuti Nabi,” katanya.
Inspirasi yang paling ia ingat adalah ketika Rasulullah mampu memaafkan orang-orang yang pernah menghalangi dakwahnya, namun beliau justru bisa berbuat baik terhadap mereka. “Yang bikin saya tersentuh, Nabi Muhammad bisa memaafkan saat dilempari batu. Kok bisa setenang itu dan malah memaafkan,” kata Josuwa menjelaskan kekagumannya.
Pembelajaran dari kisah Nabi membuat Josuwa sadar bahwa sebagai umat Nabi Muhammad Saw, ia harus belajar tidak mendendam dan bisa memaafkan kesalahan orang lain. Josuwa pun mengaku telah memaafkan pelaku terorisme. Bahkan bersama mantan pelaku yang telah bertobat, ia telah menjalin kerja sama untuk mengampanyekan perdamaian bagi masyarakat Indonesia. Kini Josuwa pun memilih jalan dakwah dengan menebar perdamaian bagi orang lain.
Baca juga Bangkit Demi Masa Depan Anak
1 Comment